Rabu, Februari 27, 2008

rembulan rasa amarah

rembulan biru di peraduan


semalam, datang sekuntum rembulan menyapaku dalam peraduan sepi
ia bergegas menawarkan mimpi
segera kulucuti sehelai-sehelai lapis pakaian di tubuhnya
kulihat sinar memancar benderang menyilaukan mata
aroma wangi menyeruap menusuk-nusuk dinding dadaku
riuh kurasakan mengalir di sekujur tubuhku
laiknya anak sungai tak muat menampung banjir bah di alurnya


aku melonjak tak kuasa menahankan benturan-benturan
di dinding-dinding pikiranku
kulihat rembulan meliuk binal menggoda
tapi aku tetap tak kuasa menyentuhnya
kuisyaratkan ia mendekat ke wajahku
lantas kurapatkan mulut ke pendengarannya
tapi bicara tak hendak meluncur dari bibirku
tersangkut duri-duri pita suara sendiri


segera kuisyaratkan ia lekas pergi
dan sekejap cahaya biru melesat ke luar lewat jendela membentur daunnya
terburai memenuhi sekujur kamarku


malam itu kuhabiskan waktu dalam lelap
berselimut kebiruan perasaan hingga fajar terbit menyala merah marah
di ufuk langit timur...




sekuntum rasa tertinggal


tiada perlu kusesali apa yang tak kuasa tergapai
karena kulihat malam tak menyisakan apapun menjelang pagi
hanya senoktah embun di pucuk-pucuk dedaun


tanganku boleh meraih yang disukai tapi jiwaku tak hendak
mulutku mampu melontarkan apa yang ingin dilesapkan pada udara
tapi keinginanku tak mau


jiwaku tak bercita mempertahankan apa yang telah berkeinginan melangkah
pergi menjauh
hatiku tak berangan tinggi meraih apa yang memang tak hendak memilikinya
tapi satu yang termohon dalam diri ini
tinggalkanlah sekuntum rasa agar ku tak dilalap sepi...




amarah dalam secangkir kopi


saat perjalanan pulang ke rumah kos
sore kemarin, tak kunyana hujan mendadak tumpah ruah ke bumi
tanpa aba-aba dan tanda bahaya sebelumnya kecuali langit muram nestapa
tubuh mendadak basah kuyub seperti kecebur kali


segera kubikin secangkir kopi penawar dingin badan dan pikiran
tapi segera pula jengkel menyeruap dalam benakku
karena buku-buku ikutan bermandi air hujan
abjad-abjad dan tanda baca juga gambar di dalamnya
menggigil kedinginan


kubikin tumpah marah ke dalam secangkir kopi yang masih kepanasan itu
kopi berombak sejenak lalu meruah berbulir-bulir di lantai kamar dingin
mirip diobrak-abrik amarah seekor cecak yang terkubang di dalamnya karena
ingin mencicipi lezat dan manisnya
petang hari sebelumnya...



Tepian Kali Bedadung, lewat tengah malam 25 Februari 2008

Tidak ada komentar: