Senin, April 07, 2008

iko & ”the failed-state”


- - - - -

ADA anak berusia 12 tahun di dekat rumah kos saya yang menjadi penjual gorengan, namanya Iko. Saat ini ia duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Tiap sore, selepas dzuhur, ia berkeliling kampung keluar-masuk gang untuk menjajakan aneka macam gorengan dagangannya. Saya dan rekan-rekan serumah-kos adalah salah satu pelanggan setianya. Sering saya dan rekan-rekan lain menanyakan kepada Iko tentang kondisi keluarganya. Dari obrolan itu, saya mendapatkan sederet “informasi”—yang bagi saya amat berharga.

Iko adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia tinggal bersama nenek dan ayahnya, sementara ibunya sudah sejak dua tahun silam mengadu nasib di negeri jiran, Malaysia, sebagai pembantu rumahtangga. Ayahnya sendiri tiap malam berjualan bakso keliling kampung, sementara gorengan yang ia jajakan itu adalah bikinan neneknya.

Suatu kali salah seorang rekan kos saya nyeletuk: “wah, iki umpamane konangan Komnas Perlindungan Anak iso diprotes.” (wah, ini seandainya ketahuan Komnas Perlindungan Anak bisa diprotes.)

Iyo Mas. Kadang wong-wong Komnas PA kuwi pancen kurang iso ndelok pokok persoalan kanti coro seng komplet,”saya mengafirmasinya. (Maksudnya: iya Mas. Kadang orang-orang Komnas PA itu memang kurang bisa melihat pokok persoalan dengan cara yang komprehensif.)

Statemen saya dan rekan saya itu bisa jadi terlalu sinis dan minor. Tapi sesungguhnya itu dilandasi oleh negative and bad experiences kami terhadap sepak-terjang sebagian rekan-rekan LSM yang kerap memperlakukan penderitaan masyarakat sebagai komoditi untuk dibarter dengan popularitas dan materi bagi diri mereka sendiri. Pada kasus Iko si penjual gorengan di atas, dalam pandangan kami, sebenarnya ada sisi positif yang patut diapresiasi.

Barangkali itu bisa turut membentuk kepribadian dia menjadi orang yang berjiwa wirausaha dan memiliki daya survival yang lebih baik bila dibandingkan anak-anak yang terlalu dimanjakan oleh orangtuanya,” komentar rekan saya.

Betul juga Mas. Lagian ia masih tetap bisa bersekolah dan juga masih punya cukup waktu untuk belajar. Apalagi dia bekerja untuk diri dan keluarganya sendiri, bukan untuk seorang juragan. Jadi, tak akan dia mengalami apa yang disebut Marx sebagai Alienasi Kerja,” saya menanggapinya dengan mengutip sepotong konsep dalam Das Kapital-nya si nabi pewarta Sosialisme-Komunisme, Karl Marx.

Tak ada pihak borjuis yang ia bikin jadi kaya-raya secara langsung sebagaimana yang dilakukan buruh-buruh di pabrik. Secara langsung, ia hanya mencari keuntungan buat diri sendiri dan keluarganya semata,” saya memperjelas.

Alienasi Kerja adalah kondisi yang didiagnosa oleh Marx pada kaum buruh yang bekerja memproduksi barang-barang yang mereka sendiri tak mengenal seluk-beluknya secara utuh dan juga tak ikut menikmatinya. Kaum buruh, kata Marx, hanya mendapatkan imbalan ala-kadarnya dari sang majikan atas jasa mereka; selebihnya, keuntungan terbesar justru mengalir deras ke kantong majikan. Kaum buruh, sekalipun peran dan jasanya besar, tak lebih dari sekedar “onderdil-onderdil kecil” dalam mesin-mesin produksi kapitalis—begitu amsal yang dibuat oleh kaum Sosialis-Komunis.

Tapi bagaimana pun juga, hemat saya, sisi positif dari seorang anak usia sekolah yang harus turut memikul beban nafkah keluarga seperti si Iko itu, tak lantas membatalkan kewajiban pemerintah selaku penyelenggara negara untuk menyediakan lapangan kerja yang layak dan manusiawi bagi rakyatnya. Akan menjadi sangat paradoksal tentunya, bila sebuah negeri yang menghimpun segala kekayaan alam di dalam perut dan di permukaan buminya, juga di dalam lautannya yang amat luas, ternyata justru banyak penghuninya yang harus mendulang sisa-sisa nafkah bangsa lain di negeri rantau. Akan amat nggegirisi ati (menggiriskan) bila di sebuah lumbung kekayaan alam, ada orang yang sampai harus melepas nyawa karena deraan kemiskinan akibat ke(tidak)bijakan pemerintah yang sangat keterlaluan dan kronis. Bukankah begitu, duhai Puan dan Tuan-tuan penguasa?

Negara yang tak sanggup menjamin tingkat kesejahteraan warganya padahal telah dikurniai kekayaan alam melimpah-ruah tak lain adalah negara yang bangkut!” Seloroh seorang rekan lainnya yang tiba-tiba tanpa saya duga turut angkat-bicara.

Sabar rek, barangkali memang para pejabat kita itu terakhir kali membuka teks UUD ’45 saat masih duduk di kelas 6 SD puluhan tahun silam. Jadi sekarang mereka semua sudah pada lupa bahwa salah-satu fungsi negara adalah melindungi segenap warganya serta menjamin hidup dan kesejahteraannya,” saya mengajukan pendapat guna mendinginkan suasana rerasan yang kian memanas itu.

Yo kuwi, mosok kekayaan alam podo didoli neng negoro-negoro Barat, adole murah-meriah pisan. Rakyate dewe cuman disisani sego aking. Tinimbang koyok ngene lak karoan gak usah negoro-negoroan rithek. Ora enek negoro, ora patheken!”sebuah mulut tiba-tiba saja nyerocos tanpa kendali. (Artinya: Ya itu dia masalahnya, masak kekayaan alam pada dijual ke negara-negara Barat, jualnya dengan harga murah-meriah lagi. Rakyatnya sendiri hanya dikasih sisa-sisa berupa nasi aking. Daripada seperti itu kan lebih baik tak usah ada negara sekalian. Tak ada negara, tak bakal bisulan!) Mulut itu mungkin berkarib dengan pikiran yang telah terinfeksi Anarkisme, yakni paham yang salah satu manifestonya adalah menolak eksistensi negara, karena negara dianggap hanya berperan sebagai tukang pukul atau centeng kaum pemilik modal raksasa; negara hanya merampoki kebebasan warganya, di samping nyolongi secara terang-terangan kekayaan alam yang sejatinya adalah milik rakyat. Ekstrim betul memang ajaran Anarkisme itu. Tapi bagaimana pun juga, suara-suara seperti itu juga punya hak untuk ditampung dan diolah sehingga menghasilkan output yang kreatif dan bermanfaat. Bukankah demikian hakikat Demokrasi (?) — menampung semua suara, bahkan termasuk suara yang menolak ide demokrasi itu sendiri.

Negara... negara! Malang nian nasibmu kini. Nama baikmu telah dicemari oleh ulah kotor kalangan “oknum” yang mendapuk dirinya sebagai pengelolamu, penyelenggaramu. Mereka ini yang telah mencorengkan jelaga dan aneka kotoran kedurjanaan di dalam dirinya ke wajahmu, hingga rakyat tak lagi mengenali dirimu yang sebenarnya, atau mengenalimu tapi dalam rupa yang buruk, menjijikkan dan mengerikan. Kasihan benar orang-orang macam Plato dan Jean Jacques Rousseau yang telah mengerahkan segenap energi pikirannya untuk menggagas kelahiranmu sebagai makhluk yang bersih tanpa cela, tapi pada akhirnya dirimu malah dibelepoti segala jenis aib oleh para penggila kuasa dan harta yang menganggap dirinya sebagai representasi dari eksistensimu.

Dan rasa-rasanya catatan ini musti segera diakhiri sebelum komposisi di dalamnya makin bercampur-aduk ora genah, sehingga saya khawatir nantinya jangankan orang lain yang membacanya, lha wong saya sendiri yang menuliskannya saja mulai merasa mumet untuk memahami plotting dan isinya, kok! []


06/04/’08

1 komentar:

MOONY mengatakan...

hehe..emang ga ada satu hal pun di dunia yg bisa dilihat secara hitam-putih.
it's a great writing, though.
salam kenal ya.. :)