Jumat, April 11, 2008

Anak-anak TK Kebakaran Jenggot (?)

DEWAN perwakilan “rakyat” dibikin geram oleh Slank. Gara-garanya, album terbaru mereka memuat sebuah lagu yang dianggap menghina dan melecehkan lembaga legislatif pusat yang berkantor di senayan itu. Dalam lagu berjudul Gossip Jalanan, lagu yang dianggap menghina itu, ada salah satu bait yang berbunyi: mafia senayan... bikin UUD... ujung-ujungnya duit. DPR disebut sebagai mafia senayan, UUD diplesetkan jadi ujung-ujungnya duit.

Dengar-dengar dari berita suratkabar, DPR lewat badan “kehormatan”nya akan memolisikan Bim-Bim cs. Tapi kubu Slanker segera bereaksi tak kalah sengit. Jutaan Slanker di seluruh Indonesia siap membela “hingga titik darah penghabisan” grup band pujaannya itu. Tak hanya mereka, solidaritas pun berdatangan dari Oi (Orang Indonesia), kelompok pendukung fanatik Iwan Fals, dan dari Baladewa, barisan penggemar DEWA 19.

“Karena ini jamannya keterbukaan dan kebebasan, kritik sosial seminor apapun harusnya disikapi dengan kepala dingin, bukan main polisi-polisian. Apalagi itu kan lagu, dan lagu itu seni, dan seni itu bagian dari ekspresi mental-psikologis masyarakat. Lha kalau orang dilarang mengekspresikan kondisi psikis dan kemuakan pikirannya, apa rumah sakit jiwa di negeri ini sanggup menampung luapan pasien-pasien neurotik dan psikotik akibat jiwa dan pikiran mereka disumbat oleh represi negara? Goblok benar orang-orang parlemen itu! Sudah paling korup, guoblokk lagi. Cuh!” Protes teman saya penuh emosi dalam sebuah rasan-rasan setelah membaca berita psy-war antara kalangan DPR dan Slanker di koran.

“Sabar, sabar. Gak usah emosi gitu. Harusnya sampean itu punya kapabilitas mental untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada. Kata orang-orang tua dulu, jangan kagetan. Bukankah memang sudah normalnya kalau anggota dewan itu tak pernah pintar. Dan bukankah sudah dari awal-awal berdirinya negara ini, anggota dewan itu memang ya begitu itu, tak pintar. Dengan kata lain ya seperti yang sampean bilang tadi, goblok. Kalau DPR kita pintar, tak mungkin situasi politik dan negara kita ini terpuruk mengenaskan seperti sekarang ini,” teman saya yang lain menanggapi teman yang pertama tadi.

“Sebentar, sebentar. Aku tidak sependapat kalau DPR dikatakan goblok. DPR itu tidak goblok, sungguh. Bukankah dulu saat masih jadi presiden, Gus Dur pernah bilang kalau DPR kita itu persis Taman Kanak-kanak. Anak-anak itu kan egois, polos, dan bisanya cuma bermain dan bermain, tak bisa untuk diajak serius berpikir dan berbuat. Jadi yang bener, anggota DPR itu, ya itu tadi, suka bermain-bermain, gak pernah serius, dan sak karepe udele dewe alias egois. Kalau sudah merasa capek ya biasanya langsung tidur, tak peduli sedang mengikuti sidang. Dan satu lagi, gemar minta duit buat jajan! Tapi jajannya bukan es atau roti atau bakso, tapi mungkin ya kayak si YZ yang dulu ketahuan njajan si ME, atau njajan mobil dan rumah mewah, wisata dan shopping ke LN pakai duit negara, dan banyak lagi,” teman ketiga ikut bersuara.

“Kalau gitu, bubarkan saja DPR. Gak usah de pe er-de pe er-an!” Teman pertama kembali berkata nyaring dan bersungut-sungut, kesal hatinya barangkali.

“Ngawor saja kamu. DPR itu pilar utama demokrasi, instrumen pengontrol kekuasaan eksekutif, di samping pilar lainnya, yaitu pers yang bebas dan peradilan yang independen. Kalau DPR dibubarkan, sama saja itu dengan meruntuhkan bangunan demokrasi kita yang sesungguhnya sudah dalam keadaan reyot ini,” teman kedua kembali berargumen.

“Setuju. Kalau salah satu pilarnya amoh atau usang, ya diganti pilar itu, bukannya ditiadakan. Kalau DPR dibubarkan, itu bisa memicu munculnya pemimpin a la Soekarno saat periode Demokrasi Terpimpin atau kekuasaan terpusat, atau macam Soeharto dengan demokrasi tipu-tipu model Orde Baru. Memangnya kita mau hidup dalam cengkraman orang-orang gendheng kuoso gendheng bondho macam itu?” Teman ketiga memperjelas argumen teman kedua.

“Lha terus, di mana posisi mahasiswa sebagai agen perubahan dan pelopor kemajuan di segala bidang, dan juga lebih spesifik lagi sebagai parlemen jalanan?” Teman pertama memperlebar skup rerasan itu dengan mempertanyakan posisi kaum kampus.

“Mahasiswa jaman ini kan berbeda dengan para pendahulunya terutama di jaman Kebangkitan Nasional dan Pergerakan Nasional dulu. Mereka sekarang ini cuma pandai teriak-teriak dan membikin macet jejalanan kota yang sesungguhnya sudah macet itu. Mereka itu cuma pandai bikin demonstrasi, menghujat dan mencaci-maki para pejabat negara dan anggota dewan. Tapi saat dosen-dosennya sendiri korupsi, dekan dan rektornya korupsi, mulut mereka diam seribu bahasa. Mungkin karena takut bakal dilempar keluar dari bangku kuliah, atau bisa jadi mereka sendiri juga turut kebagian duitnya lewat proyek-proyek yang diberikan dosen-dosennya. Juga anak-anak muda sok pinter itu kalau sudah mendapatkan posisi-posisi empuk di organisasi intra kampus, apalagi yang mengandung unsur kekuasaan macam BEM, HMJ dan DPM, ya tabiatnya tak akan jauh berbeda dengan para pejabat negara yang kerap mereka hujat. Mereka menghujat kan karena iri sebab cuma kebagian duit sedikit, dan berhasrat suatu saat dapat ikut serta menikmati jatah kendurenan duit rakyat yang lebih besar lagi! Itu kondisi psikologis hipokrit, namanya,” teman keempat yang sedari tadi leyeh-leyeh tiba-tiba bersuara.

“Ah, sampean terlalu sinis. Apa karena dulu sampean gak lulus ujian SPMB jadinya terus iri pada para mahasiswa? Sampean iri karena betapa enaknya jadi mahasiswa. Tak perlu cari duit sendiri karena tiap bulan dijatah bapak-ibunya, dan kalau jatah kiriman berlimpah bisa buat foya-foya. Salah sendiri kenapa dulu pilih program studi favorit di universitas bonafit pula. Coba kalau sampean dulu pilih prodi yang tak laku di universitas-universitas kampungan, yang dosen-dosennya cuma sibuk berburu proyek dan orderan pihak luar, pasti diterima!” Teman ketiga protes, tak terima harga dirinya sebagai mahasiswa dilecehkan.

“Tapi tidak semua mahasiswa itu bertabiat hipokrit dan hedonis. Jangan karena nila setitik lantas menganggap rusak susu sebelanga. Tidak semua mahasiswa itu hobinya nge-mall dan ngemil. Tidak semua dari mereka itu suka bikin macet jejalanan dan bikin bising telinga pengguna jalan dan kaki-lima. Ada juga kok di antara mereka yang benar-benar tahu diri dengan misi yang mereka emban sebagai mahasiswa. Tak sedikit mahasiswa yang berprestasi dan turut memajukan kehidupan akademis dan lebih luas lagi memajukan peradaban bangsa,” teman pertama tiba-tiba menjadi bijak bersuara. Padahal ia sendiri tadi yang mempertanyakan di mana posisi mahasiswa. Ia juga yang sejak tadi mencemooh dengan nada paling minor perilaku anggota dewan. Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi bijak? Aneh!

“Tapi, apa kira-kira kesimpulan dan tanggapan kita terhadap sikap DPR yang hendak memolisikan Slank, grup band kesayangan kita itu?” Teman kedua mengembalikan topik pembicaraan.

“Tak perlu ditanggapi. Jangan ikut-ikutan mereka. Lha wong anak-anak TK kok kebakaran jenggot, memangnya mereka sudah punya jenggot?!” Saya yang sedari tadi cuma mendengarkan rasan-rasan itu akhirnya terpancing untuk angkat-bicara. Saya hanya tak ingin kalau teman-teman saya itu ikut-ikutan tak pintar seperti orang-orang parlemen yang kurang kerjaan meributkan lirik sebuah lagu, seolah-olah di meja kerja mereka semua segala tugas telah tuntas, seolah-olah rakyat yang mereka wakili sudah tak memiliki permasalahan hidup untuk mereka dengar dan perjuangkan, seolah-olah mereka itu dipilih untuk hanya sibuk menanggapi kritikan dan celaan terhadap harga diri dan kewibawaannya yang sesungguhnya telah mereka lecehkan dan hinakan sendiri lewat prilaku korup dan khianat kepada rakyat.

“Dasar! Anak-anak TK kok kebakaran jenggot!!!” Rerasan diakhiri dengan suara serempak, diiringi tepuk-tangan serentak. Entah apa maksudnya keplok-keplok itu.

Sementara itu, tiba-tiba saja suara Siti Nurhaliza terdengar merdu melantunkan lagu Purnama Merindu, menyirami ruangan yang telah belepotan oleh cibiran dan sindiran tajam forum rerasan itu dengan kesejukan, dengan lirik lagu puitis dan melankolis yang dibawakannya. Rupanya seorang lagi teman saya yang tersisa, yang tak ikut-ikutan berbagi “dosa” dalam rerasan, ingin berbuat kebajikan dengan menyajikan tembang lawas biduanita Malaysia itu guna mendinginkan kepala dan dada kami semua yang sejak tadi menghangat karena rebutan mencibiri parlemen negeri sendiri. Mbeneh juga teman yang punya wajah culun itu ... []

10/04/’08

Tidak ada komentar: