Sabtu, April 12, 2008

cara GILA a la POSMO

.: olok-olok buat para Posmois radikal


Realitas itu sendirilah yang hiperrealis sifatnya. Di mana pun kita hidup, kita telah menjadi bagian dari “halusinasi estetik realitas”.

(Jean Baudrillard ; Simulacrum)


Sejarah sudah berhenti. Orang berada dalam semacam pasca sejarah yang tanpa makna. Orang takkan menemukan makna apapun di dalamnya.

(Jean Baudrillard ; On Nihilism)



KalauAnda jenius ingin jadi gila; atau Anda gila pengen jadi jenius; atau Anda pengen jadi jenius gila, silakan baca, amini dan imani bulat-bulat pemikiran Baudrillard dan juga “cecunguk-cecunguk” Posmo-radikal (aliran destruksi) lainnya. Dijamin, Anda akan lekas jadi jenius gila seperti mereka. Tapi resikonya, kalau Anda tak mujur nasibnya, Anda bisa jadi gila sungguhan—gila yang tak jenius; gila yang sebenar-benarnya gila. (ha ha ha ... )


Orang-orang Posmo-radikal/destruktif itu ibarat memasang dinamit pada seluruh bangunan modernitas yang ada, tanpa sisa. Entah disadari atau tidak sebelumnya, setelah dinamit diledakkan dan semua bangunan itu musnah, ujung-ujungnya mereka akan jadi “gembel” dan “gelandangan”. Tak ada lagi bangunan yang tersisa bagi mereka untuk berteduh, untuk berlindung. Semua hancur, musnah, oleh dinamit kaum Posmo-radikal/destruktif itu. Yang tersisa hanya puing. Dan dengan puing-puing itulah mereka bermain-main untuk mengisi sisa hidupnya sebagai gembel dan gelandangan. Mereka benar-benar edan! Eiddyann...


Belakangan saya tahu, kenapa mereka melakukan “politik bumi-hangus” macam itu? Ternyata karena mereka melihat adanya beberapa bangunan modernitas yang absurd, seram, dan menakutkan, seperti misalnya: negara yang represif, agama yang dogmatik dan ilmu pengetahuan yang hegemonik. Tapi sayangnya mereka gebyah uyah alias pukul rata dengan menganggap bahwa semua bangunan modernitas itu absurd, seram, dan berbahaya. Maka semuanya didinamit, diledakkan, dimusnahkan. Semua, tanpa sisa. Dan jadilah mereka gembel dan gelandangan, tak punya lagi tempat berteduh dan berlindung.


Bahkan seorang rekan wanita yang mungkin juga ngefans berat dengan SIMULAKRA dan NIHILISME-nya Baudrillard memposting comment di friendster saya. Berikut saya kutipkan beberapa:

jangan heran kalo di jaman kalabendu ini yang miskin semakin kere, yang pinter otaknya dijarah para pemodal, dibekukan, lalu diformat ulang sesuai satu2nya kepentingan, "MENGERUK KEUNTUNGAN". ahh, aku juga cuma bisa bicara ngalor-ngidul. selebihnya tak bisa apa2. itulah mengapa aku begitu tak mengingini diri ini lagi. itulah disorientasi itu. idealisme yang SELALU bersaing dengan realita yang semakin mengganas.dan ujung2nya kalah dengan bukti segurat rasa yg berserakan di alam virtual ini. siapa yg peduli???”

maka membicarakan Tuhan, adalah membicarakan CINTA. jika ia memang masih ada ;p!! kekuatan tak kentara yang beraksi nyata, signifikan. padahal toh cuma sejumput senyawa kimia yang menumbuhkan efek sugesti dalam otak, agar bisa begini dan begitu yang hebat. aku makhluk berTuhan, bukan atheis. ... “


Saya geleng-geleng kepala tapi juga pengen ketawa membaca pernyataannya itu. Hebat betul teman kuliah saya itu. Kenapa dunia nyata dianggapnya sebagai alam virtual? Mengapa cinta Tuhan dikatakannya sebagai hanya sugesti senyawa kimia, bak sindrom chemistry dalam cinta antarjenis manusia (yang acapkali murahan)? Saya ingin acungkan dua jempol sekaligus atas “keberanian”-nya itu. Pancen hebbyatt tenaaann !!


Tapi saya ragu. Jangan-jangan para Posmois radikal itu mengharapkan dunia yang seindah negeri surga seperti dalam dongeng-dongeng yang sering kita dengar saat masa kecil dulu. Sehingga ketika mereka jumpai kemunafikan dan kedurjanaan manusia yang mengotori peradaban, mereka pun prustasi dan coba “lari dari kenyataan”—seperti lirik lagunya ADA Band. Saya jadi bertanya-tanya, sadarkah mereka itu bahwa sejarah manusia terbentuk dari dialektika antara “kekuatan jahat” dan “kekuatan baik” yang bersemayam dalam diri manusia. Sejarah peradaban adalah sejarah pertentangan sifat “iblis” dan tabiat “malaikat” kemanusiaan. Bukan pertentangan kelas seperti ditengarai Karl Marx. Mungkin Marx tak tahu bahwa sebelum adanya diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat (dalam bentuk kelas), saat peradaban manusia masih sangat sederhana, pertentangan dan penindasan antar-manusia itu jauh-jauh hari sudah ada. Pernahkah Marx mendengar cerita pembunuhan Habil oleh Qobil, dua putra Adam, sang manusia pertama itu—karena rebutan garwo lan bondho (?)


Sepanjang sejarah dunia adalah “neraka” tapi juga “surga”. Manusia bisa mencipta harmoni tapi juga bisa mendorong anarki. Gerak peradaban sesungguhnya hanyalah gerak semu karena hakikat kemanusiaan tak pernah berubah: kejahatan tapi juga keluhuran di dalamnya. Sepanjang sejarah, perang dan damai senantiasa hadir dalam masyarakat manusia. Para pecinta hadir bersamaan dengan kaum rakus kuasa. Ada yang tak pernah lelah menebar bajik dan kemuliaan, tapi banyak pula yang mengumbar angkara murka. Dunia dan kemanusiaan dalam periode sejarah mana pun juga adalah sebuah pertentangan. Tak bisa dikatakan bahwa masa lalu secara keseluruhan berada dalam kondisi “lebih baik” dari masa sekarang. Luputkah orang-orang Posmo-radikal terhadap hal ini? Terobsesikah mereka pada masa silam karena kepahitan yang dirasai kini? Tak cukup beranikah mereka menatap hari depannya dan masa depan peradaban dengan tatap-pandang penuh harapan?


Pesimisme yang radikal butuh adanya optimisme yang radikal pula, agar hidup tak hilang keseimbangan, agar dunia tak hampa makna. Dan inilah yang nampaknya tak dipenuhi kalangan Posmo-radikal. Dengan fanatisnya, mereka sibuk menghancurkan seluruh bangunan modernitas tanpa berusaha mendirikan bangunan baru sebagai penggantinya. Tak sadarkah mereka bahwa tiap yang radikal berakhir fatal, tiap yang fanatis berujung tragis (?) Bukankah hidup menghendaki sikap yang moderat, agar diri tak terlempar pada kutub-kutub ekstrim, agar dunia tetap berada dalam titik equilibrium (?)


Akhirnya, tanpa adanya kutub penyeimbang itu, jadilah para simpatisan Posmois-radikal kita itu nihilis, fatalis, hiper-pesimis, ultra-sinis, dan amat mungkin... tragis !


Entah apa yang dimaui para maniak Posmo-radikal itu? Saya sendiri tiada habis-pikir ... [*]


11/03/08






6 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

Aku hanya bisa mengangguk2 membaca tulisanmu. Bukan karena aku mengerti tapi justru karena aku tidak paham. Bukan salah tulisanmu tapi aku memang tak terlalu paham apa itu Posmo siapa itu Baudrrilad.

Tapi biarlah, aku hendak menceritakan sesuatu padamu dan pada teman wanitamu yang berkomentar itu.


Hari minggu kira-kira tiga pekan lalu, aku ngopi di warung reot di Bundaran Hotel Indonesia. Itu kulakukan di sela-sela waktu senggang karena hari itu hari minggu jadi tak banyak berita menarik untuk di angkat.

Kau tahu setelah memesan kopi, meminum seteguk aku merasa jauh lebih santai. Ku ambil HP di saku celana sebelah kanan lalu berkirim sms dengan pacarku.

Sementara itu, di depanku orang ramai berbicara dan bercanda entah soal apa. Sekitar 10 meter di sebelah kananku, orang-orang bergembira sambil berolahraga, bermain futsal dan sekedar membeli jajanan.

Aku termenung sejenak lalu tersenyum. Ternyata aku bahagia, sebab sudah satu jam aku menghabiskan waktu hanya dengan ngopi.

Aku menemukan kebahagiian hanya dengan segelas kopi!
Tak lama setelah itu aku terbayang dan berandai, 'ah...seandainya Pito, Tyas dan suhud di sini pasti aku jadi jauh lebih bahagia karena kami bisa berbicara sambil tertawa-tawa.

Kau lihat, hanya dalam hitungan detik aku cemberut dan tidak bahagia!

Ternyata aku bisa bahagia tanpa perlu menunggu bumi "melenyapkan" kapitalisme di dunia, dan aku bisa tak bahagia bukan karena "idealismeku" belum terwujud di dunia ini.

Tentu saja aku tak perlu mendefenisikan Tuhan dengan ringkas sebagai "sejumput senyawa kimia". Sekali lagi aku tak paham darimana datangnya defenisi itu. Agaknya ia lebih tepat disebut sebagai suara murung setengah putus asa. Tapi lihatlah, ternyata seringkali kita, meminjam Goenawan Mohamad, selalu menuliskan sesuatu dengan awal huruf Besar seperti Revolusi, Idealisme, Keseimbangan dan mengabaikan hal-hal kecil.

Padahal, dengan melihat hal-hal kecil, kita bisa merasakan kaki kita masih menginjak bumi dan kepala kita masih menjunjung langit. Bukankah itu berarti kita sadar dimana kita berada?? dan bukankah dalam proses menyadari itu kita telah menemukan makna? Bahwa Surga dengan huruf S yang kau impikan dan realitas sekarang yang kau sebut sebagai Neraka dengan huruf N itu terlalu besar bahkan hanya untuk disebut.


Sehingga, dengan demikian kita bisa melanjutkan langkah dan mencari "sesuatu" dalam hal yang lebih kecil. Sesuatu yang bisa kita sebut sebagai kebahagiaan kecil, atau bahkan idealisme dalam ruang yang lebih kecil. Jika setelah membaca tulisan ini kau berpikir ingin membalasnya dengan cepat lalu ternyata kau bisa karena difasilitasi oleh internet, kau bisa menafsirkan itu sebagai idealismemu yang tercapai dalam bentuknya yang paling sederhana bukan? Sehingga satu sisi kau bisa mengutuk internet sebagai sesuatu yang palsu tapi juga bisa memujanya sebagais sesuatu yang sangat nyata.

Seperti katamu itulah hidup.

espito mengatakan...

Sebentar Bung. Aku kok merasa bingung setelah membaca ulang comment sampean terkait tulisan ”cara gila a la posmo” di blogku. Seolah-olah komen itu ’mendiskreditkan’-ku. Padahal di sana aku menuliskan kritik (yang menurutku cukup tajam sekalipun relevansinya patut dipertanyakan) terhadap sikap dan pandangan kalangan Posmois-radikal (termasuk simpatisannya, seperti teman kita itu). Kamu sendiri, yang kutahu dari komenmu, juga tak sepakat dengan pandangan kaum Posmo-radikal. Tapi kok seolah-olah kamu menganggap aku berpikiran segaris dengan para Posmois-radikal itu?
Pertama, kau menulis: ” Bahwa Surga dengan huruf S yang kau impikan dan realitas sekarang yang kau sebut sebagai Neraka dengan huruf N itu terlalu besar bahkan hanya untuk disebut.”
Dalam tulisanku itu tak ada kusebut seperti yang kau tulis di atas.
Kedua, kau menulis: ” Jika setelah membaca tulisan ini kau berpikir ingin membalasnya dengan cepat lalu ternyata kau bisa karena difasilitasi oleh internet, kau bisa menafsirkan itu sebagai idealismemu yang tercapai dalam bentuknya yang paling sederhana bukan? Sehingga satu sisi kau bisa mengutuk internet sebagai sesuatu yang palsu tapi juga bisa memujanya sebagais sesuatu yang sangat nyata.”
Padahal aku tak sedikit pun mencemooh keberadaan internet dalam tulisan itu. Dalam tulisanku yang lain (”meler seluler” dan ”tragedi sebuah foto posmo”, misalnya) memang aku sedikit mengafirmasi pandangan Baudrillard terhadap virtualisme/”simulasi dunia”. Aku sedikit mencemooh teknologi2 maya di zaman ini. Tapi jika kau telah baca dengan jeli, tentu kau bisa menangkap itu sebagai sebuah tulisan yang ”geguyon/membual” semata. Dengan lain kata, cemoohku itu tak serius, tapi hanya ingin menertawakan—dan bukannya meratapi. Bagaimana pun juga, aku tak mau mengalami split of personality atau pun sekedar ambivalensi karena tak kuasa memahami gerak-laju zaman. Malah aku menekankan dalam tulisan itu tentang perlunya sikap moderat—bukan radikal apalagi fanatis. Mungkin kau bisa cek lebih jauh isi komenku di Fsnya si teman itu dan juga komen2 si teman itu di Fsku. Juga mungkin kau bisa cek lagi tulisan2ku yang lain yang kusebut di atas (”meler seluler” dan ”tragedi sebuah foto posmo”). Harapanku agar segalanya lebih terang adanya.
Jujur, aku jadi bingung dan merasa ”terpojokkan” dengan komentarmu itu. Jadi, mohon tanggapan lebih lanjut.

Dan soal harapanmu untuk kita bisa meneguk kopi bersama di jakarta, aku rasa aku juga sangat berharap demikian. Jujur aku sangat berharap bisa nongkrong dan membual bersama-sama lagi seperti saat-saat kita masih berkumpul di jember. Doakan saja skripsiku lancar dan aku lekas lulus. Aku sudah tak betah di sini, ingin segera menemui kehidupan luas, kehidupan yang tak hanya berkutat dengan urusan2 teori semata.

Sekian, trims. Tabik!

Anonim mengatakan...

sorry kalau komenku agak membingungkan, jika bung merasa nadaku setuju dengan pendapat bung maka pasti semua komenku itu bukan bung tapi buat teman bung itu tampi melalui bung. Mungkin kusarankan dia baca Tuhan dan hal-hal yang tak selesai-nya Goenawan Mohamad. Ada nukilan yang sangat pas di sana aku lupa nomor berapa tapi intinya soal perhatian kepada hal-hal kecil, remeh temeh dan dianggap tak penting oleh orang-orang yang terbakar oleh apinya Revolusi.

Memang komenku itu lebih banyak ditujukan buat teman bung, jadi jangan salah paham

Terus berjaung! dan segeralah ke Jakarta, rasakan dulu tidak enaknya ditindas kapitalisme di sini, baru kita sama-sama mencari tempat yang sebisa mungkin tidak emnempatkan kita sebagai sampah mereka tapi paling tidak mampu berdiri dengan segenap kekuatan. Wuuuahhhh....nadane koyok iyo iyo o padahal yo pengen ngopi ae, tapi sepakat kan ngopi bersama di warung reot milik mbok darmi itu adalah salah satu kebahagiaan kita, surga dunia kita dan yang jelas uang kita tidak ke Amerika melalui Sturbucks, to???????????!!!!!!!!

espito mengatakan...

yup, betul bgt !!!

bahagia itu ada di mana-mana, lebih2 dlm hal2 "kecil" dan "sepele".

tiap hari aku naik onthel ke kampus dan aku bahagia. org lain yg naik mobil belum tentu sebahagia aku.

itulah hukum kehidupan yg sering dilupakan org2 yg punya ambisi besar. mereka kira mereka bisa ubah dunia semudah membalik telapak tangan. dan mereka kira dunia bisa dikonversi jadi surga.

pokok'e syukur dan syukur, pada hidup, pada hal2 "remeh". itulah jalan bahagia ...

espito mengatakan...

TAMBAHAN:

Lha ya itu loh. Kasihan betul orang2 yang bercita2 tinggi tapi diselingi ambisi yang kelewat tinggi pula. Kasihan juga orang2 nihilistis yg menganggap dunia tak lebih onggokan sampah. Padahal dunia kelewat indah tuk sekedar dinikmati. Bercita2 itu wajib asal tak berlebihan dan keterlaluan laiknya hendak menggapai gemintang di langit. Baik optimisme yg radikal pun pesimisme radikal (nihilisme) hanya akan melucuti diri dari indah dan manisnya hidup. Ketika keduanya dipeluk bersamaan mungkin masih mendingan (seperti pandangan ttg zaman ”kalabendu” yg diyakini bergandengan dgn akan munculnya ”ratu adil” dalam masyarakat Jawa kuno). Tapi ketika hanya diimani salah satunya saja, akibatnya ya seperti suara nihilis atau retorika revolusi itu. Lak iya, tho? Mending berbagi dan menikmati pahit-manisnya hidup yg sanggup melahirkan bahagia bagi diri sendiri dan orang lain, ya seperti secangkir kopi yg biasa kita teguk itu. He he he ...


Toh Tuhan mencipta seisi dunia bukan untuk diratap-tangisi, kan?! Sungguh malang mereka yg tiada temukan bahagia bahkan dalam secangkir kopi pengusir penat. Mereka kira seekor ular dan macan itu lebih berbahaya daripada seekor kuman dan bakteri parasit di tubuh. Ha ha ha ... Padahal kealpaan mereka untuk mensyukuri hidup itulah yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya bahkan dari momok kapitalisme yang paling menyeramkan sekalipun. Sepakat?


NB. Istilah pesimisme radikal dan optimisme radikal itu aku pinjam dari GM juga di salah satu CaPing-nya (sayangnya aku lupa edisi ke berapa).