Selasa, April 22, 2008

Bahagia

Selasa dinihari, mulai 00.07 WIB.

Sekira satu-dua jam lalu, sebelum mulai menulis catatan ini, saya duduk di ruang tamu rumah kos saya sambil membaca buku The Secret, buku best-seller karya Rhonda Byrne. Sembari menyimak lembar demi lembar buku yang mengupas tentang “rahasia” meraih banyak hal yang diimpikan dalam hidup itu, saya memutar lagu-lagu Dream Theater dari pemutar musik MP3. Menyimak kisah-kisah berpetuah di dalam buku tersebut dengan diiringi musik dan lirik-lirik yang rumit, dalam dan menyentuh dari lagu-lagu Dream Theater, saya pun merasakan bahagia. Sekali lagi, saya berbahagia. Saya berbahagia tanpa saya harus menghabiskan banyak uang untuk memperturutkan segala keinginan konsumptif yang ada pada diri saya. Saya berbahagia tanpa harus merekayasa keseimbangan dopamine dan serotonin (dua zat kimiawi neurotransmitter) di dalam otak saya dengan meneggak butir-butir amphetamine, atau menghisap ganja, misalnya. Saya berbahagia secara alamiah dan lewat cara amat sederhana.

Padahal, kira-kira selama tiga jam sebelum momen bahagia itu datang, saya tak merasa bahagia. Malah, saya dirundung sedih. Gara-garanya, saya menjumpai seorang wanita—yang padanya saya sedang menyimpan “rasa”—sedang tak memperlihatkan raut keceriaan di wajahnya. Tapi saya tak akan menceritakan lebih jauh soal ketidakceriaan si wanita itu, lebih-lebih saya memang tak tahu apa-apa dengan ketidakceriaannya itu. Dalam catatan ini, saya hanya akan menuliskan tentang momen-momen bahagia yang pernah saya alami dalam hidup saya.

Bahagia. Apakah gerangan itu? Banyak orang yang tak paham, dan acapkali juga salah-paham, dengan apa yang disebut sebagai “bahagia”. Konsekuensi dari tiadanya pemahaman itu, banyak orang yang kemudian tak mampu menggapai secuil pun bahagia. Banyak orang yang menganggap bahagia itu tak lebih dari sekedar mimpi belaka. Sekedar mimpi berarti adalah utopia. Tapi benarkah bahagia adalah utopia? Saya sendiri tak yakin anggapan itu.

Dalam hidup, saya banyak menemui momen-momen bahagia, sekecil dan sekejap apa pun itu. Bahagia, bagi saya, adalah sebuah pengalaman perasaan yang mendalam. Bahagia tak bisa dipersamakan dengan ceria atau gembira. Ceria, sebagaimana derita, adalah sebuah pengalaman rasa yang superfisial sifatnya. Sementara, bahagia adalah sesuatu yang transendental, lawan biner dari superfisial. Ceria bisa diperoleh di mall, misalnya, saat kita bisa memborong benda-benda dan aneka jasa yang mengundang hasrat kita untuk memilikinya. Tapi, benarkah lewat cara itu kita bisa menemukan momen bahagia? Benarkah kita mampu peroleh pengalaman mendalam yang menyentuh palung paling dasar dari jiwa dan perasaan hati kita, di antara deretan benda-benda dan penawaran aneka jasa superfisial di dalam mall?

Sepengalaman saya, pengalaman transenden yang disebut “bahagia” itu tak pernah bisa didapatkan melalui hal-hal yang superfisial sifatnya. Belum pernah saya merasakan bahagia yang sebenar-benarnya bahagia saat saya memiliki ponsel baru, sepeda motor baru, baju baru, dsb. Bahwa saya merasa gembira dengan memiliki benda-benda baru tersebut adalah benar adanya. Tapi pengalaman bahagia tak pernah saya dapatkan pada hal-hal seperti itu. Baiklah, mungkin saya perlu bercerita sedikit tentang momen-momen bahagia yang saya dapatkan dari hal-hal sederhana.

Saya bahagia ketika menikmati keindahan pantai dengan desir angin dan debur ombaknya, sembari saya menyadari betapa indahnya alam ini, betapa berharganya hidup ini, tanpa saya lupa pada kenyataan bahwa di tempat lain banyak keindahan alam yang dirusak tangan-tangan jahil manusia. Saya bahagia tatkala saya naik gunung yang tak jauh dari rumah saya sekedar untuk melepaskan penat dan sekaligus menikmati pemandangan dari ketinggian. Kaki saya lelah bahkan sampai berdarah tertusuk duri-duri sepanjang jalan mendaki, tapi saya menikmati pendakian itu, dan saya pun amat bahagia dalam momen itu. Saya bahagia ketika mandi berenang di sungai bersama teman-teman sebaya, bukan mandi berenang di kolam renang mewah. Saya bahagia saat meneguk secangkir kopi di kaki-lima untuk menghilangkan penat pikiran, tanpa saya harus masuk kafe hanya untuk memesan benda yang sama dengan harga berlipat-lipat. Saya bahagia ketika mengulurkan sekedar uang recehan kepada pengemis atau pengamen tanpa saya berpikiran untuk menunda-nunda berderma sampai saat saya bisa jadi jutawan terlebih dahulu. Saya bahagia tatkala menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya amat jauh dari sempurna, dan bahwa diri saya pun memiliki banyak cela dan nista, tanpa saya membayang-bayangkan indah dan sempurnanya hidup seperti di dalam surga. Dan banyak momen-momen lain di mana bahagia mendatangi dan menyapa saya, sekecil dan sekejap apa pun itu. Bahagia adalah sebuah pengalaman mendalam, berkesan dan memberikan arti yang tak kecil pada hidup kita. Mungkin saya bisa simpulkan, bahwa bahagia sesungguhnya berakar pada rasa syukur dan takjub kita pada hidup. Tanpa itu, mustahil kita bisa mendapati pengalaman bahagia, sekecil dan sekejap apa pun itu.

Saya pernah mendapati sebuah pernyataan yang ditulis seseorang bahwa bahagia itu terkait erat dengan faktor kimiawi otak semata. Konon, kata dia dalam tulisan di blog-nya itu, memiliki kadar serotonin berlebih (dan dopamine yang defisit) di dalam otak akan menjadikan seseorang dipenuhi dengan karakter-karakter negatif. Secara implisit dia menyatakan bahwa bersyukurlah mereka yang memiliki kadar dopamin berlimpah di dalam otaknya karena dengan begitu mereka akan senantiasa bahagia dalam hidupnya. Secara implisit pula, dia menganggap bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang genetis, dan itu berarti bersifat terberi (given). Kalau benar demikian adanya, betapa tidak adilnya Tuhan karena tak memberikan hak yang sama pada setiap orang untuk peroleh pengalaman bahagia. Atau mungkinkah bahagia, dengan demikian, bisa direkayasa lewat cara-cara kimiawi dengan menenggak zat-zat amphetamine untuk mengatasi dafisit dopamine di dalam otak?

Memang, karakter manusia sedikit-banyak dipengaruhi faktor genetika, termasuk keseimbangan komposisi zat-zat kimiawi neurotransmitter di dalam otak. Tapi bila kita bicara soal bahagia, soal pengalaman transendental itu, bisakah semata-mata ia dikaitkan dengan faktor kimiawi di dalam otak belaka? Saya yakin jawabannya adalah: tidak!

Di lain sisi, saya banyak mendapati orang-orang yang melarikan diri dari ketidakbahagiaan hidupnya dengan berbagai cara. Mulai dari yang menjadi pecandu kesibukan (work aholic) hingga yang menjadi pecandu zat-zat psikotropika. Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, sedemikian sulitkah menemu bahagia dalam hidup ini, bahkan bahagia yang terdapat dalam hal-hal kecil sekalipun? Mungkin memang hal-hal yang serba artifisial—yang superfisial sifatnya—di alam kehidupan modern ini telah mengalienasi manusia dari kemanusiaannya, membuat manusia hanya mengikuti pola pikir yang melulu rasional-empiris-materialis-mekanis, hingga melupakan diri pada sesuatu yang abstrak, sesuatu yang transendental itu (?) ...

Berakhir di 02.21 WIB

NB. Selamat Hari Bumi ...

22/04/’08

Tidak ada komentar: