Sabtu, April 19, 2008

The Loser

.: sebuah eksepsi & klarifikasi


SAYA layak mendapatkan cemooh. Seperti yang saya dapatkan pagi hari ini dari seorang teman yang berkunjung ke rumah kos saya. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Bercinta (plesetan teman itu untuk akronim WIB) dia datang langsung masuk ke kamar saya dan mulutnya langsung menyemprotkan cemooh berasa manis-asam-asin (mirip rasa permen nano-nano yang sekarang sudah lenyap dari peredaran karena kalah bersaing dengan menthos yang the freshmaker itu).


“Koen iki goblok pancene. Koen mari mosting komen opo nang dekne, he?” Kalimatnya pertama membuat saya seperti dijejali bumbu dapur bernama asam plus gula ditambah garam. Wajah saya mengerut, mulut menyeringai (karena kombinasi rasa yang tak karuan itu). Kalimat kedua bikin saya sadar bahwa saya memang goblok meskipun ada juga orang yang bilang saya pintar. Tapi dalam konteks apa dulu saya goblok, ini yang perlu saya klarifikasi melalui tulisan ini. Maka, ijinkan saya bercerita:


Pagi hari sebelumnya, saya memposting sebuah komentar untuk tulisan seorang teman wanita yang sejak dua bulan lalu turut-serta meramaikan jagat virtual kaum bloger. Tulisan Dia yang saya kasih komentar itu adalah sebuah tulisan testimonial/memoarial bernada liris dan menstimuli airmata pembacanya untuk keluar dari kantongnya. Saya tak perlu sebutkan memoar tentang apakah gerangan tulisan itu. Yang terang, saya yang membacanya saat over-midnite alias dinihari, harus menahankan airmata saya agar tak keluar berlinang-linang. Alhasil, airmata saya itu tertahan di pelupuk mata saja, membuat pandangan saya berkaca-kaca, kabur!


Kenapa saya sampai berairmata membaca tulisan itu? Jawaban yang primordial adalah: itu naluriah! Kalau Anda berempati pada kisah sedih orang lain, saya yakin Anda akan sampai menitikkan airmata. Itu bukan pertanda Anda cengeng. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa Anda peka dan Anda belum kehilangan citarasa kemanusiaan Anda akibat derasnya arus modernisasi yang mengalienasi harkat-martabat manusia dan menggantinya dengan pola pikir yang mekanistis, materialistis, serba logis, dan banalistis.


Tapi saya punya analisis yang mendekati ilmiah untuk pertanyaan kenapa saya harus sampai berairmata membaca tulisan Dia. Berikut analisis itu:


1).Saya membaca tulisan Dia saat dini hari, kira-kira mulai pukul 02.00 WIB, di dalam kamar saya, seorang diri. Dini hari adalah kondisi yang hening. Maka, dengan kondisi yang hening itu, saya pun membacanya dengan penuh penghayatan. Menghayati berarti adalah ikut “masuk dan menjalani” kisah yang dibaca dengan sepenuh jiwa. Itu berarti, dalam kisah tersebut saya menempatkan diri saya bukan sebagai pengamat, melainkan sebagai partisipan. Saya ikut merasakan apa yang dirasai oleh sang penulis kisah atau sang tokoh dalam kisah tersebut.

Akan sangat berbeda seandainya saya membaca tulisan itu di tengah gegap gempita pertandingan sepakbola di stadion, atau di tengah riuhnya pasar. Saya paling-paling hanya akan tersenyum getir saja, atau mungkin malah akan menertawakan kisah itu.


2).Saya yakin kisah itu tidak dituliskan oleh penulisnya sambil tertawa atau sambil bermesra-mesraan dengan kekasihnya, misalnya (andai Dia sudah punya kekasih). Konon, menurut sebuah teori terpercaya, sebuah tulisan itu membawa serta aura jiwa sang penulisnya. Bila ia dibaca dengan penuh penghayatan, alhasil si pembaca akan ketularan suasana hati sang penulis saat menuliskan kisah tersebut. Kalau penulisnya tertawa saat menuliskannya, pembaca juga akan tertawa saat membaca tulisan itu dengan sungguh-sungguh. Maka saya yakin, bahwa Dia, si penulis kisah itu, juga berurai airmata saat menuliskannya. Akhirnya, saya yang membacanya dengan ekstra-serius pun ikut ketularan suasana hati Dia. Tapi saya tidak menyesal. Malah sebaliknya, saya bersyukur karena saya membaca tulisan Dia bukan seperti saat saya membaca rekening tagihan bulanan listrik dan air PAM.


3). Kisah dalam tulisan itu sedikit-banyak juga pernah saya alami dalam hidup saya. Maka, membaca kisah itu, saya seperti terlempar pada dimensi waktu dan ruang yang telah terlewatkan. Salahkah saya bila sampai berairmata, karena saya disuguhi sebuah “repro” rekaman kisah masa silam saya sendiri? Andai saya tak pernah mengalami kisah seperti itu, tentu saya segan untuk membiarkan perasaan saya terlarut dan hanyut dalam kisah itu. Saya akan membacanya laiknya saya membaca buku-buku diktat kuliah, atau membaca berita IPTEK di koran. Tapi saya pernah mengalaminya, dan saya punya hak untuk terlarut hanyut dan deeply emphatic pada kisah dan tokoh sekaligus penulisnya.


Kesalahan saya cuma satu kok: saya telah memaksa Dia untuk memberitahukan alamat blog-nya pada saya. Itu saja. Andai saya tak pernah memaksanya, ia tentu tak akan memberitahukannya pada saya. Dan bila saya tak mengetahui alamat blog-nya, tentu saya tak akan pernah membaca kisah liris yang ditulisnya itu. Dan itu berarti, saya tak perlu berairmata dan memposting sebuah komentar untuk tulisan Dia yang akhirnya membuat saya dicemooh dengan kata “goblok” oleh teman saya yang metuwek dan rodhok elek itu.


Saya memang goblok, tapi tidak untuk hal-hal di atas. Saya goblok untuk satu perkara lain. Tapi saya tak perlu memberitahukannya secara gamblang pada siapa pun. Anda yang kenal baik dengan saya, pasti Anda sudah tahu betul dalam perkara apakah gerangan saya goblok.


“Tapi kenapa musti kamu posting komen yang malah bikin dia sedih-hati? Kan kamu bisa kasih komen yang menghiburnya. Bukan malah komen yang menambahi beban perasaannya. Dasar goblok!” semprot teman saya lagi dengan intonasi tinggi, melengking bak kuda betina minta kawin (?).


Harusnya kamu bisa mengamalkan ajaranku: so others may happy,” sambungnya sambil menepuk dada, membanggakan diri.


Tak cuma itu, bocah gemblong itu juga menuduh saya ceroboh dalam membuka “pintu gerbang” sebuah “halaman rumah” yang ingin saya masuki. Entah apa yang ia maksudkan dengan pintu gerbang dan halaman rumah dalam kata-katanya yang bersayap-sayap tersebut.


Saya tak tahu, apa dasar pemikirannya itu. Kenalkah bocah keminter ini pada konsep Emphatic? Tahukah ia pada pesan implisit dalam parafrase Joanna (Hannah) Arendt yang berbunyi: “duka menjadi lebih tertanggungkan kala dijelma dalam cerita”? Padahal dalam komentar yang saya kirimkan ke Dia itu, saya hanya ingin memberitahu bahwa Dia tak sendirian. Ada banyak orang yang juga sedang dan pernah menjalani fragmen kisah kehidupan macam itu, termasuk saya. Salahkah saya berempati ke Dia? Salahkah saya turut menutur cerita untuk menaggungkan duka Dia? Atau cara saya kah yang salah? Apakah duka itu akan lebih tertanggungkan semata-mata dengan saya mengiriminya es krim atau kue coklat, misalnya, seperti ketika kita menghibur tangis anak kecil dengan membelikannya permen atau balon, tanpa sedikit pun menyentuh duduk persoalannya? Atau mungkin saya memang terlalu berlebihan karena akan lebih baik jadinya bila saya no comment, seperti bicara para selebritis di televisi. Harusnya saya diam dan diam, berpura-pura tak tahu apa-apa, meski itu pada akhirnya membuat saya tak jauh beda dengan seonggok berhala: dingin, tak berperasaan (!). Atau, mungkin saya yang terlampau terdramatisir kisah yang ditulis Dia, dan saya balas mendramatisir tutur-cerita yang saya posting sebagai komentar tulisan itu. Celaka duabelas kalau sampai kemungkinan terakhir itu benar. Itu berarti saya telah kehilangan daya obyektivitas dalam menilai realitas di dalam sebuah tulisan. Tapi bukankah tulisan tersebut adalah sebuah cerita liris, dan adakah cerita liris bisa ditulis (dan kemudian dibaca) dengan mengedepankan unsur obyektivitas melalui metodologi-metodologi baku laiknya sebuah karya ilmiah? Ah, entahlah. Sudahlah. Tak perlu dibahas lagi. Saya pusing.


Dan, untuk sekedar Anda ketahui, hingga saat menjelang duapuluh empat tahun lamanya saya hidup di dunia ini, baru satu kali saya berpacaran, yaitu saat SMA dulu. Itu pun cuma sekedar pacaran model cimon (cinta monyet). Dan saya singgel dan jomblo semenjak lulus SMA, medio 2001 silam, hingga kini. Ceritanya, saya diputus, bukan saya yang memutus. Alasannya, saya kuliah di Malang, dia di Jember. Dia tak ingin ada peluang munculnya perselingkuhan akibat long distance relationship. Jadi, apalah daya bila salah satu pihak menghendaki sebuah ending, saya samasekali tak kuasa menghalanginya. Saya totally surrender—pasrah! Singkat kalimat: saya pecundang dalam cinta.


Lantas, dalam perkara apa sebenarnya saya ini goblok? Ah, Anda tentu telah menebaknya, bukan?! ... []



NB. seharian ini saya sampai tak makan. Seluruh waktu tumpas di dalam kamar, di depan komputer, di antara puluhan buku yang berdiri berderetan di sudut kamar, memikirkan banyak hal, menuliskan banyak hal, termasuk catatan ini. Seharian, dari pagi hingga senjakala, cuma mengasup energi dari segelas kopi dan separuh pak rokok kretek 76.


19/04/2008


1 komentar:

Anonim mengatakan...

onok opo iki kok mengutuk diri sendiri??? bangkit dong..