Sabtu, April 05, 2008

ibu


ribuan kilo jalan yang engkau tempuh // lewati rintang untuk aku anakmu // ibuku sayang masih terus berjalan // walau tapak kaki penuh darah penuh nanah // seperti udara kasih yang engkau berikan // tak mampu ‘ku membalas... ibu... //

ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu // sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu // lalu doa-doa lalui sekujur tubuhku // dengan apa ‘ku membalas... ibu...


(“ibu” – oleh Iwan Fals)


Pagi beranjak siang ini, sembari menuliskan catatan ini, saya putar sebuah lagu Iwan Fals yang liriknya saya tulis/kutip di atas. Hati dan jiwa saya berdesir sepenuhnya menyimak bait demi bait syair lagu itu. Liris dan magis, begitu kesan yang saya tangkap.

Bagi hampir semua orang, betapa agung sosok seorang ibu. Kasih dan kelapangan hatinya sungguh-sungguh tak terpermanai, tak terdefinisikan, tak tertuturkan lewat bahasa mana pun juga. Ia kasih termurni manusia, cinta sejati sesama.

Ibu. Ia-lah sosok yang sembilan bulan lamanya menampung kita dalam rahimnya. Ia bawa-serta kita ke mana pun ia pergi, di mana pun ia berada, apa pun aktivitas yang ia lakukan. Ia tampung kehidupan kita tanpa sedikit pun ia berkesah. Ia bawa-serta kita tanpa secuil pun ia merasa terbebani dan menyesali keberadaan kita di dalam tubuhnya.

Tatkala kita terlahir dan menyaksikan kehidupan, menjadi bagian dari dunia, ia curah-tumpahkan seluruh kasih dan sayangnya buat diri kita seorang. Kita-lah yang menjelma harapan, mewujud asa, baginya. Ya, kita, anaknya, tempat di/ke mana seluruh kasih dunia dalam hatinya dialirkan tanpa sisa. Bagi hampir semua manusia, ibu adalah sosok pahlawan teragung, pahlawan yang senyata-nyatanya pahlawan. Bahkan tak akan ia relakan andaikan kita, anaknya, hendak ditukar dengan seluruh dunia seisinya. Kita-lah mutiara paling berharga baginya.

Maka hati saya sempat dilanda kebimbangan tak terperikan kala menyimak pemberitaan media massa beberapa hari lalu. Di Malang, Pekalongan dan Bekasi, ada seorang ibu menghabisi nyawa anak-kandungnya sendiri yang masih balita. Konon, itu semua dilakukan karena alasan keterhimpitan ekonomi. Pikiran dan kesadaran saya pun terbelah-belah dalam merespon tragika itu. Jajaran aparat pemerintahan menganggap itu adalah sebuah aib besar bagi “nama baik” bangsa dan negara. Kaum agamawan mengutuk tindakan sang ibu itu sebagai “sebentuk dosa mahabesar”. Kalangan psikiater menengarai adanya “penyimpangan psikis” pada diri sang pelaku. Para cendekia tukang-kritik mengatakan peristiwa itu adalah pertanda “kegagalan negara/pemerintah”. Sedangkan bagi golongan politisi dan oposisi, tragika tersebut adalah sebuah “modal besar” untuk menghantam lawan-lawannya yang sedang duduk-manis di kursi-kursi kekuasaan.

Saya tak ingin ikut-ikutan berpolemik. Tragedi—bagaimanapun juga—adalah tragedi. Tapi saya juga tak sepenuhnya yakin bahwa motif pembunuhan itu didasari oleh sebuah kejahatan, atau niat jahat, yang bersemayam dalam diri pelaku—yakni sang ibu. Saya ragu bahwa tindakan/tragedi itu didorong oleh raibnya kasih dan sayang dari kalbu seorang ibu. Saya justru “curiga” dan coba “berpikiran positif” terhadap motif pembunuhan tersebut. Jangan-jangan itu semua justru dilandas-dasari oleh kasih dan sayang yang berlimpahan—dalam diri sang pelaku/ibu—terhadap anak-anaknya. Bukan tak mungkin kalau pelenyapan nyawa anak-anaknya itu justru didorong oleh perasaan “tidak tega” menyaksikan mereka hidup dalam kubangan penderitaan akibat kemarginalan ekstrim sosio-ekonomi yang dialaminya. Bukan tak mungkin ibu itu justru berpikir bahwa anak-anaknya akan hidup jauh lebih baik dan penuh kebahagiaan saat ia tak lagi menghuni dunia yang dipenuhi kesengsaraan, ketidakadilan dan kemahadurjanaan manusia-manusia penghuninya. Bukan tak mungkin tindakan ibu itu justru didorong oleh keinginan mulia untuk mengembalikan anak-anaknya kepada Sang Pencipta agar ditempatkanNya mereka di negeri surgawi yang dipenuhi oleh hal-hal yang di dunia ini menjadi “sesuatu yang amat langka, bahkan tiada”—yakni: Keadilan, Kedamaian, Kesejahteraan, Kebahagiaan, dsb. Kasih ibu yang tak berbatas, yang seluas jagatraya, sangat memungkinkannya untuk melakukan perbuatan yang bagi logika/pikiran manusia—yang linieristis dan parsialistis—justru dianggap sebagai “kejahatan paling durjana”, melebihi kejahatan korupsi, barangkali.

Dan hemat saya, tragika tersebut—yang sesungguhnya hanyalah “pucuk mungil” dari “gemunung tragedi” yang amat besar yang tak terekspose media—sesungguhnya adalah kabar buruk bagi kita semua tentang kondisi peradaban manusia yang justru bergerak menjauhi kondisi keberadaban. Di saat ratusan bangunan pencakar langit—mulai dari perkantoran, mall, hingga apartemen mewah—didirikan di kota-kota agar kita ditahbiskan sebagai bangsa dan negeri yang “maju”, tragedi di atas adalah sebuah jeritan pilu yang memprotes kelancangan para penyelenggara negara dalam menggerakkan roda “pembangunan”. Di saat angka pertumbuhan ekonomi digenjot habis-habisan dengan memperbanyak jumlah pabrik-pabrik besar dan segala jenis mesin pertumbuhan ekonomi lainnya, tragedi itu adalah sebuah potret kelam tentang sisi lain kehidupan yang selama ini (di)luput(kan) dari gerak-laju “modernisasi”.

Tapi entahlah. Dunia dan hidup ini memang tak ubahnya sebutir buah simalakama. Dan tak seorang pun mampu menghindarkan diri untuk tak menelannya. Setiap apa pun yang diperbuat manusia, selalu terbawa di belakangnya konsekuensi-konsekuensi buruk yang kerap tak terduga. Mengapa demikian? Saya jadi teringat sepenggal lirik yang dilagukan Kid Rock delapan warsa silam: “... only God knows why ... ”

Senoktah akhir catatan ini: Tak perlu kita berdebat, ataupun sekedar bertanya-tanya dalam hati, apakah si ibu pelaku pembunuhan terhadap anaknya itu nantinya akan dihukum di dalam kobaran api neraka atau tidak. Bukankah Kasih dan Kelapangan Hati Sang Pencipta jauh lebih tak terpermanai dibandingkan kasih dan kelapangan hati seluruh ibu yang ada di dunia ini?


Only God knows ... [!]


04\04\2008




Tidak ada komentar: