Sabtu, April 05, 2008

Menunggu

“Hidup adalah medan ujian,” kata seorang teman. “Termasuk ujian atas kesabaran menunggu SMS yang tak kunjung berbalas,” sambungnya sambil terkekeh-kekeh. Entah dalam konteks apa ia berbicara seperti itu karena aku merasa tak pernah mengajak ia ngerumpi perkara hidup dan juga soal SMS.

Mungkin selama ini ia, temanku itu, tahu betul kalau aku sering termangu-mangu menunggu balasan SMS dari seseorang. Mungkin ia juga tahu siapa seseorang yang aku maksudkan itu. Dan temanku itu sudah tahu pasti tabiatku yang suka tak sabaran menunggu.

Jujur, bagiku menunggu adalah sebuah perkara paling membosankan. Kalau aku boleh memilih, lebih baik lari mengelilingi lapangan bola sepuluh kali daripada harus menunggu sesuatu sampai berjam-jam lamanya. Dan lebih baik lagi berlari mengitari lapangan bola hingga jatuh pingsan daripada harus menunggu sesuatu yang amat diharap-harapkan sampai seharian lamanya. Itulah tabiat burukku. Tabiat yang bersifat given tapi juga social experiences yang amat sukar untuk aku ubah.

Memang, selama ini aku kerap meng-SMS-i seseorang. Kadang sekedar bertanya kabar, kadang juga mengirim “puisi” singkat. Dan acapkali SMS itu tiada berbalas. “Mungkin SMS itu tersangkut di salah satu tower seluler sehingga tak sampai masuk ke ponsel Dia,” begitu aku bergumam sambil tersenyum-senyum sendiri—bermaksud menghibur diriku sendiri.

Tapi acapkali aku juga merasa bersalah diri (menyalahkan diri sendiri, maksudnya) kala SMS itu tak berbalas. Aku mengira, jangan-jangan selama ini aku memang telah lancang dengan berkirim SMS ke Dia. Barangkali aku memang tak tahu diri—tak menyadari siapa diriku, siapa dirinya. Mungkin juga ia enggan bertegur-sapa denganku karena terkadang mulutku ini suka berkhianat pada diriku sendiri dengan meluncurkan kalimat yang bisa jadi menyinggung perasaannya. Tak kupungkiri, lisanku terkadang berujar secara liar—melecehkan pikiran dan kehendakku, tuannya sendiri. Dan memang, lisan adalah organ yang paling subversif dalam kesatuan tubuh manusia.

Atau mungkin Dia yang aku kirimi SMS itu tahu betul bahwa aku rajin menulis. Dan karena setahuku Dia telah membaca novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder, tentu Dia tahu tentang hakikat penulis. “Penulis adalah seorang pembual,” tulis Jostein dalam novel yang digarap-bareng bersama Klaus Hagerup itu.

Tahukah Jostein dan Klaus bahwa sepenggal kalimat dalam novelnya itu dapat memicu rusaknya atmosfer sosial dan psikologis di sekitar para penulis? “Statemen” dalam PABB itu adalah peneguhan anggapan banyak orang tentang tabiat suka membual yang bersemayam di dalam kepala seorang penulis. Dan terbayangkankah oleh mereka berdua, apa efek buruk yang mesti dipikul oleh para penulis dalam hubungannya dengan lain jenisnya akibat “rahasia” hakikat eksistensinya ditelanjangi habis-habisan dalam novel PABB itu? Tak mengertikah Jostein dan Klaus, bualan adalah perkara paling dibenci oleh makhluk bernama wanita?

Kini aku cuma bisa totally surrender alias pasrah bila setiap kali aku berkirim SMS ke Dia ternyata tak berbalas.

Alon-alon pokoke kelakon, filosofi orang-orang Jawa di abad silam. Maksudnya: pelan-pelan asal terjalani. Tapi ngomong-ngomong apa maksudnya filosofi itu turut saya tuliskan di sini? Apa relevansinya dan apa konteks yang membingkainya?

“Barangkali Dia merasa grogi dan segan untuk membalas SMS-mu, kawan!” kata temanku lagi, bermaksud menghibur gelisahku dan membesarkan hatiku yang sedang mengerut. Tapi aku sadar ia sedang menggombal dan tak menyadari bahwa kalimatnya itu sesungguhnya telah ‘mengerdilkan’ Dia di hadapanku; seolah-olah aku ini adalah seorang hebat yang diliputi kewibawaan dan kharisma sehingga orang lain harus grogi dan segan membalas SMS-ku. Keterlaluan memang temanku itu. Ia cuma jago ngebacot—banyak omong! Tak tahu ia bahwa aku-lah sebenarnya yang grogi dan segan berhadapan dengan Dia.

Dan tatkala aku mengirimkan SMS kepada Dia, itulah sesungguhnya momen di mana aku berhasil menundukkan rasa segan dan grogi dalam diriku. Tapi sayangnya, momen itu pula yang membuatku musti menunggu. Benar nian perkataan seorang kenalan: “Barang siapa berharap, bersiap-sedialah ‘tuk dikecewakan.” But, lo*e is more than wishes, tegas seorang bijak dari dunia jauh.

Hingga detik catatan ini selesai, SMS yang kukirimkan ke Dia sore kemarin tak jua berbalas. Lo*e is totally surrender, maybe ... [?*^%$@#@#]

4-5/04/’08


Tidak ada komentar: