
Beberapa hari lalu kita dibuat terhenyak oleh pemberitaan di beberapa media massa tentang kisah seorang ibu di Malang, Pekalongan dan Bekasi, yang menghabisi nyawa anak-anaknya yang masih balita karena himpitan ekonomi. Sementara itu di kota Jember, penulis mendapati sendiri ada beberapa penjual kudapan yang terpaksa berhenti berjualan karena tidak sanggup lagi menanggung margin keuntungan yang kian menipis seiring melambungnya harga bahan baku. Seperti kita tahu, dalam beberapa bulan terakhir ini harga bahan-bahan kebutuhan pokok melejit drastis, nyaris tak terkendali. Bahkan harga komoditi minyak goreng, di mana Indonesia adalah produsen crude palm oil (bahan baku minyak goreng) terbesar kedua setelah Malaysia, juga tak luput ikut naik hingga seratus persen.
Hal ini tentu saja sangat bertolakbelakang dengan upaya (dan optimisme) pemerintah untuk menggenjot angka pertumbuhan ekonomi—yang tahun ini dipatok 6,5 persen. Dua peristiwa di atas, yang sesungguhnya hanyalah pucuk “gunung es”, seolah-olah mengabarkan kepada kita semua bahwa angka pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak ubahnya sebuah fatamorgana karena ia kurang berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang selalu dijadikan tonggak prestasi oleh pihak pemerintah dalam kenyataannya tidak dapat terhindar dari ironi.
Ironi pertumbuhan ekonomi tersebut paling tidak tercermin dalam dua hal. Pertama, tingkat pertumbuhan tidak sebanding dengan tingkat inflasi. Nilai inflasi seringkali melebihi angka pertumbuhan, sehingga yang terjadi adalah kenaikan pengeluaran/belanja masyarakat tidak lagi terpenuhi oleh pertambahan nilai pendapatannya.
Kedua, kondisi perekonomian acapkali justru lebih ditentukan oleh pergerakan harga saham, dan kurang berkaitan dengan sektor riil. Sementara angka pertumbuhan naik, sektor riil justru tidak menunjukkan perubahan signifikan dan sebanding dengan geliat kenaikan harga saham perusahaan bersangkutan. Fritjof Capra (2001) menyebut fenomena ini sebagai ekonomi virtual.
Memang, kenaikan harga bahan-bahan pokok saat ini tidak terlepas dari imbas kenaikan komoditi serupa di pasaran dunia. Tapi sesungguhnya kita bisa menghindari ekses-ekses negatifnya apabila pemerintah benar-benar mengambil peran maksimal dalam manajemen dan regulasi perekonomian nasional. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menyerahkan begitu saja proses ekonomi kepada mekanisme pasar. Karena, seperti diungkapkan Joseph Stiglitz (2003), pasar sesungguhnya tidak bisa meregulasi dirinya sendiri secara sempurna. Pasar akan menimbulkan distorsi dan ekses-ekses negatif—seperti inflasi, pengangguran, ketimpangan sosial dan eksploitasi—apabila tidak ada pihak ketiga (yaitu pemerintah) yang menjadi penengah antara produsen dan konsumen.
Apa yang disebut oleh Adam Smith sebagai “pasar sempurna” sesungguhnya dalam kenyataannya tidaklah ada. Pasar yang sempurna hanya bisa terwujud apabila informasi terdistribusi secara seimbang dan merata kepada para pelaku pasar, yakni produsen dan konsumen. Sementara realitanya, informasi tersebut hanya dimonopoli oleh pihak produsen saja. Konsumen tidak mendapatkan informasi yang benar dan sebanding dengan yang dimiliki oleh produsen. Konsumen lebih banyak menerima informasi yang diberikan oleh produsen sejauh itu menguntungkan pihak produsen, yakni—biasanya—melalui iklan. Produsen tidak akan memberikan informasi yang benar dan akurat apabila informasi tersebut justru akan merugikan pihak produsen sendiri.
Untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar tersebut maka mutlak diperlukan peran pemerintah. Tanpa peran maksimal dari pemerintah, konsumen hanya akan menjadi objek ekonomi yang diekspolitasi habis-habisan oleh/untuk kepentingan pihak produsen semata.
Paradoks Ekonomi (Neo)Liberal
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ekonominya, banyak negara-negara berkembang yang kemudian mencoba menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro-pasar, yakni kebijakan yang (neo)liberalistik. Padahal sesungguhnya resep-resep ekonomi liberal dan neoliberal, seperti yang digariskan oleh IMF dan negara-negara maju (G-7) kepada negara-negara berkembang, telah terbukti gagal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang amat mendasar (baca: kesejahteraan masyarakat). Doktrin liberal dan neoliberal itu—yakni berupa privatisasi BUMN, pengurangan (atau penghapusan) subsidi sosial, kesehatan dan pendidikan, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan (traffic-trade barriers) antarnegara, dan pengurangan pajak—hanya akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat, terutama masyarakat di negara-negara berkembang.
Saat krisis moneter melanda beberapa negara Asia pada 1997 silam, Malaysia bisa selamat dari keterpurukan yang lebih jauh salah satunya adalah karena mereka menolak bantuan dan resep ekonomi yang ditawarkan IMF. Sebaliknya, Indonesia mengalami keterpurukan yang justru makin parah setelah menerapkan kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh IMF.
***
Dengan demikian, pemerintah haruslah pro-aktif dalam meregulasi pasar/ekonomi agar pertumbuhan ekonomi benar-benar bisa mendatangkan berkah bagi seluruh lapisan masyarakat. Intervensi pemerintah dalam ranah ekonomi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Doktrin-doktrin ekonomi (neo)liberal hanya akan membuat bangsa ini menjadi “sapi perahan” bagi negara-negara maju. Tanpa peran yang maksimal dari pemerintah, angka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi seperti gelembung udara: berisi namun kosong; tak mendatangkan manfaat signifikan bagi masyarakat. ***
30/03/’08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar