Selasa, April 01, 2008

Tragedi Sebuah Foto Posmo

.:sebuah parodi

ANDA yang seorang manipulator ulung gambar dan foto, Anda yang seorang seniman instan desain grafis, pasti Anda sudah intim betul bergaul dengan piranti-lunak bernama Photoshop dan CorelDraw. Demikian pula saya yang punya sedikit hobi mengutak-atik gambar dan foto virtual. Sengaja saya instal dua program itu dari sebuah CD bajakan yang saya pinjam dari seorang rekan yang sedang menempuhi perkuliahan di program studi Desainer Grafis sebuah PTS agak tak terkenal.

Sebagai seorang yang baru belajar mengoperasikan dua produk teknologi maya itu, saya pun dilanda euforia—girang bukan kepalang. Sebagai kelinci percobaan, saya utak-atik foto diri saya agar terlihat lebih keren dan indah. Saya terapkan trik ini dan itu sedapat mungkin agar foto tersebut bisa menghasilkan sebuah hyper-reality, yakni sebuah realitas baru yang semu sifatnya alias tak nyata.

Karena masih dilanda demam virtualisme yang dijanjikan oleh Photoshop dan CorelDraw di komputer saya itu, saya pun iseng-iseng menjajarkan gambar diri saya dengan gambar diri seorang artis jelita—yang sepenilaian selera saya, ia artis paling cantik sekaligus paling cerdas se-Indonesia. Melalui serangkaian trik yang ditanamkan di dalam dua software tersebut, saya pun akhirnya bisa mendapatkan sebuah gambar baru yang amat bagus, gambar perpaduan diri saya dan si artis tadi. Dalam gambar itu, saya sedang berdiri berdempetan dengan si artis dalam pose yang amat mesra, persis pasangan sejoli. Kalau seandainya saya tunjukkan gambar itu kepada para abang becak, saya jamin mereka akan mengira kalau gambar itu benar-benar asli, bukan bohongan.

Tapi tentu sampean semua juga sudah mafhum bahwa setiap bentuk keusilan akan mendapatkan balasan setimpal. Demikian pula yang saya tuai sebagai buah keusilan saya terhadap foto artis cantik tadi. Ceritanya begini: foto hasil rekayasa itu saya cetak dengan menggunakan mesin cetak binti printer milik seorang teman. Hasil cetakan lantas saya selipkan pada sampul CD lagu MP3 koleksi saya, dengan harapan agar terlindung dari debu dan tak lekas rusak.

Separuh bulan berselang, ada seorang rekan wanita yang ingin meminjam CD MP3 itu. Tanpa ingat akan keberadaan foto bohong-bohongan di dalamnya, saya pinjamkan CD itu kepada si rekan wanita tersebut. Dua-tiga jam berselang, ada pesan-pendek masuk di ponsel saya. Isi pesan-singkat itu: “wah, kpn kmu jadian ma dian sastro? bikin traktiran dunk...” Mampus!, pikirku. Saya langsung kelabakan menjawabnya. Terbongkarlah tabiat “pungguk merindui rembulan” dalam diri saya. Tapi saya beranikan diri merangkai-rangkai kebohongan telanjang, demi membalik suasana hati yang dirundung malu menjadi sebuah kekocakan. Saya balas SMS itu: “oh, itu dulu pas aq berkunjung ke Jkt si Dian nekat minta foto bareng. Kyknya doski emang ngefans berat ke aq”.

Tapi kekocakan rupa-rupanya hanya sanggup mengeleminir rasa malu buat sesaat saja. Selebihnya saya tetap didera rasa malu pada si rekan yang telah tanpa sengaja berhasil ‘mengintip’ sebuah bentuk “kejahatan moral” di dalam diri saya, lewat foto tipu-tipu itu. Sampai kini, saya kadang masih kelincutan dan salah-tingkah di hadapan si rekan tadi. Maklum saya tak punya bakat sebagai artis karena memang sudah dari sononya saya ini adalah tipikal manusia pemalu—meskipun suka usil. Kalau sampai rekan itu punya pikiran negatif terhadap saya, misalnya saya disangkanya telah berimajinasi yang enggak-enggak dengan Dianda Paramitha Sastowardoyo, wuihh... bisa gawat jagatraya ini jadinya. Padahal “rekayasa genetik” atas foto itu hanya sekedar produk keisengan dan keusilan diri saya semata, walaupun mungkin saya tak bakalan bisa menampik seandainya ada orang yang menganggap saya punya “obsesi terpendam” terhadap bintang AADC yang kini telah jadi sarjana filsafat di UI itu. Tapi sungguh, saya tak pernah berimajinasi yang enggak-enggak sama Dian, swear!

Saya ingat dulu sewaktu masih hingar-bingarnya gerakan Reformasi ’98, ada sebuah tabloid politik yang memajang foto mantan presiden Soeharto sedang bermain panco dengan Amien Rais, salah satu loko gerakan reformasi. Dalam foto rekayasa berukuran besar yang dijadikan penghias halaman muka tabloid tersebut, Soeharto bertelanjang dada sementara Amien Rais mengenakan singlet lusuh. Di lengan Soeharto terdapat tato bergambar ular kobra sementara di lengan Amien Rais terdapat tato bergambar kepala harimau yang sedang mengaum. Saya yakin itu adalah produk manipulasi Photoshop dan CorelDraw. Kalau anak kecil yang melihatnya, pasti disangkanya itu foto betulan, bukan tipu-tipu.

Maka ada benarnya apa yang ditengarai oleh Jean Baudrillard dan konco-konconya, bahwa era posmodernisme telah membuat segala sesuatu menjadi kabur dan mengabut. Yang nyata berkelindan dengan yang irriil. Fakta melebur-luruh bersama rekaan dan mitos. Melalui teknologi televisi dan komputer, kata mereka, realitas sesungguhnya telah berakhir (atau diakhiri, tepatnya). “Realitas itu sendirilah yang hiper-realis sifatnya. Di mana pun kita hidup, kita telah menjadi bagian dari halusinasi estetik realitas,” ungkap Baudrillard. Kini, yang tersisa adalah virtualitas dan hiper-realitas. Lewat gambar hasil rekayasa komputer, lewat tayangan fiksi televisi, dunia telah digiring menuju sebuah galaksi bernama Simulacrum—sebuah jagat simulasi yang berada di antara alam nyata dan khayali.

Bagi sebagian orang, mungkin pandangan Baudrillard terlampau kelewatan dan cenderung nihilistis. Bagi para kritikusnya, ia dianggap terlalu jauh mendorong wacana posmodernisme. Namun bagaimana pun juga, tengarai Baudrillard tak sepenuhnya keliru. Apa yang kita jumpai di dalam televisi, nyaris seluruhnya adalah hiper-realitas. Kisah sinetron, tayangan iklan, bahkan liputan olahraga dan news pun tak luput dari unsur dramatisasi. Dalam dunia televisi, realitas direproduksi menjadi “realitas baru yang semu” (hiper-reality), dan konstruksi berpikir kita pun pada akhirnya juga turut diwarnai (bahkan didominasi) oleh dimensi hiper-realitas tersebut. Model berpikir kita—suka tak suka—akan cenderung mengikuti kisah-kisah fiksi yang dramatis dan absurd ala televisi itu. Demikian pula dengan dunia fotografi dan gambar virtual ala komputer, tabiatnya pun tak jauh berbeda dengan fiksi televisi.

Dan sekedar sampean semua ketahui, semenjak tragedi gambar “foto bareng” saya dengan Dian Sastro itu, saya ogah lagi menyentuh Photoshop dan CorelDraw. Dua software yang telah mendangkalkan nilai dan hakikat seni itu kini telah saya uninstall dari komputer saya. Saya tak ingin lagi memaksakan diri menjadi seniman di bidang visual jika pada akhirnya apa yang saya hasilkan tak lebih dari seni yang banal dan amat murahan. Saya kapok, sungguh! []

31 Maret 2008

Tidak ada komentar: