Senin, April 28, 2008

merokok, membaca, menulis

ADAKAH hubungan antara tiga aktifitas di atas? Bagiku, ada. Saya menikmati tiga jenis aktifitas di atas layaknya saya menikmati tiap aliran udara yang kuhirup setiap detik setiap hari sepanjang hidup. Semua kunikmati, kucandui. Tapi untuk yang pertama, jujur saja, sebenarnya saya membencinya. Sementara yang kedua dan ketiga, saya teramat mencintainya, seperti saya mencintai seorang kekasihku (dulu dan nanti, karena sekarang sedang dalam kondisi jomblo, tak punya kekasih, dan sedang berjuang mendapatkan).

Kepada rokok, saya berniat hati untuk berhenti menghisapinya, tapi sampai detik ini belum bisa. Sudah sejak lima tahun lalu saya berkarib dengan benda beracun tersebut, dan mungkin saja paru-paruku telah mulai aus. Saya, seringkali, merokok sambil membaca. Atau di saat lain, merokok sambil menulis. Tapi mungkin kecanduanku terhadap rokok belumlah akut, apalagi kronis. Sehari biasanya hanya menghabiskan lima sampai tujuh batang. Konon, para perokok berat biasa menghabiskan tiga sampai empat bungkus sehari, satu bungkus berisi duabelas, enambelas, dan ada yang duapuluh batang.

Dulu, saat awal-awal kecanduan batangan nikotin itu, saya biasa menghabiskan hingga dua bungkus per hari, sampai-sampai ibuku sempat menegur, “kamu masih muda apa tak sayang dengan dirimu. Terlalu banyak merokok bisa membuat kesehatanmu rentan.” Ah, ibu, memang teramat sayang sekali dia padaku, anak sulungnya yang sejak kecil digadang-gadang bakal disekolahkan di Akmil agar kelak bisa jadi jendral (tapi sayangnya saya tak berminat, karena jadi tentara itu berat, harus sering meninggalkan anak-istri untuk bertugas ke pelosok-pelosok negeri, mengawal tapal-batas negara, menjaga pulau-pulau di teritori terluar, dll. Saya ingin selalu berkumpul anak-istri, nanti).

Tapi teguran ibuku seolah angin yang berhembus menerpa wajahku, mengipas tak berbekas. Saya tetap meneruskan kebiasaan merokok, sekalipun dengan mengurangi frekuensinya. Saya menikmati rokok meski saya membencinya. Mungkin, sebagaimana halnya Anda menikmati suasana dan aneka benda dan jasa di dalam mall padahal Anda mengutuki Kapitalisme, ibu kandung yang melahirkan dan membesarkan mall.

Mengenai rokok, ada kisah menarik terkait dengannya. Haji Agus Salim, salah satu tokoh Pergerakan Nasional kita itu, dalam sebuah acara resepsi diplomatik di London, Inggris, membikin heboh. Tokoh yang pada saat itu menjabat menlu di kabinet Sjahrir dan Hatta (1947-49) tersebut menyulut rokok di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi hadirin dari banyak negara. Hadirin pun ada yang merasa tersengat nafasnya karena bau rokok yang terasa asing itu. Rupanya tokoh kita itu menghisap rokok kretek, bukan rokok cerutu atau rokok putih yang biasa dihisap orang-orang Barat. Kita tahu, rokok kretek mengeluarkan asap yang beraroma tajam dan menyengat organ-organ pernafasan. Lantas ada hadirin yang menanyai, “apa yang Anda hisap, Tuan?”

“Inilah, Yang Mulia,” jawab Agus Salim penuh yakin, “yang membuat bangsa Barat menjajah negeri kami.”

“inilah” yang dimaksudkan Agus Salim bukanlah rokok kretek itu sendiri, melainkan cengkeh yang ada di dalamnya, karena, berbeda dengan rokok putih yang hanya berbahan tembakau, rokok kretek adalah perpaduan cengkeh dan tembakau dengan proporsi yang pas. Seperti kita tahu, cengkeh (dan aneka jenis rempah-rempah lainnya) adalah hasil bumi negeri kepulauan kita yang mendorong bangsa Barat (baca: Belanda) untuk merampoknya—sembari menindas nenek moyang kita, pemiliknya yang sah, tentu saja.

Kembali ke soal adiksi saya pada rokok. Saya juga memilih, dengan amat setia, jenis rokok kretek, bukan rokok putih. Kita tahu, semua jenis rokok putih yang beredar di negeri ini berlisensi-dagang perusahaan Barat. Bahkan, rokok putih paling populer yang kita kenal di sini, langsung diproduksi oleh pabrik milik perusahaan rokok terbesar sejagat kepunyaan orang Amerika. Keuntungan dalam porsi terbesar sudah pasti mengalir deras ke kantong devisa Paman Bush, tentunya. Dengan alasan ini, saya merasa tak salah ketika memutuskan untuk lebih memilih rokok kretek yang merupakan produk asli bangsa sendiri, dan dengan begitu saya juga turut menyumbang uang ke pundi-pundi devisa negeri sendiri, di samping turut menambah penghasilan jutaan petani tembakau, pedagang rokok, dan karyawan serta pemilik pabrik rokok, tentunya.

Dan kenapa saya masih terus merokok padahal saya membencinya? Jawabnya ya karena saya adiksi terhadap rokok. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan masyhur kita itu, juga merokok sambil membaca dan menulis. Pujangga besar kita Chairil Anwar itu juga perokok. Tapi tidakkah merokok itu memperpendek usia? Ah, bukankah hidup, seperti kata Chairil, sekali berarti habis itu mati.

Jujur, bagi saya, hidup bukan perkara usia, tetapi soal apa yang akan, sedang, dan telah kita perbuat. Terus terang, saya tak pernah berdoa untuk dipanjangkan usia. Saya hanya berdoa agar hidup saya tak pernah kehilangan makna, sehingga pada gilirannya saya juga bisa memberikan makna bagi orang-orang di sekitar saya, juga pada dunia, tentunya.

Dan buat apa kita berpanjang-panjang usia bila hanya menggunakannya untuk memproduksi dosa-dosa sosial yang hanya akan kian menambah kelam nuansa peradaban. Kalau begitu, kenapa saya harus membenci rokok, toh saya tak ingin berpanjang-panjang usia? Jawabnya: karena wanita itu tak suka pada pria perokok, dan saya sependapat dengan mereka. Itu saja.

Satu lagi, saya tabik pada wanita yang gemar membaca, karena wanita yang gemar membaca membuat pria tak akan berani berbuat macam-macam terhadapnya. Karena itu, wahai para wanita, gemarlah membaca agar tak dibodohi pria. Dan kalau bisa, wahai para wanita, menulislah. Karena melalui tulisan, engkau bisa menundukkan para pria yang gemar membaca. Setelah kau tundukkan, terserah mau kau apakan pria itu, sesuka hatimu, karena sesungguhnya pria itu tetap saja bodoh walaupun gemar membaca, swear !!!

Tapi, wanita... mohon jangan engkau merokok, karena rokok itu hanya untuk pria, seperti halnya aneka macam perhiasan itu hanya untuk kaummu semata ... []

28/04/2008


jadi gak cakep lagi kan kalo lagi ngerokok (?)


Tidak ada komentar: