Minggu, April 27, 2008

waria

Beberapa malam yang lalu, tatkala melintas di depan stasiun kereta api di kota Jember, kira-kira pukul 21.00 WIB, saya “digoda” oleh beberapa waria yang sedang duduk-duduk di warung yang ada di depan stasiun tersebut. “Haii...,” hanya itu sapaan yang mereka lontarkan pada saya dengan irama yang genit sambil melambaikan tangan kanannya, seolah-olah mengharapkan saya untuk datang menghampiri mereka. Terus terang saya merasa sedikit risih dengan sikap mereka itu. Mungkin karena saya masih merasa asing dengan dunia mereka. Dan, jujur saya akui, sedikit-banyak pikiran saya telah terkonstruksi sedemikian rupa untuk memandang eksistensi mereka sebagai salah satu bentuk “patologi sosial”. Maklum, sebagian masyarakat dan kaum agamawan kita selama ini selalu memberikan stigmatisasi kelam kepada mereka, dan tanpa saya sadari, kesadaran saya pun telah tertular sikap dan pandangan minor itu.

Tapi, jujur saja, sebenarnya hati nurani dan perasaan kemanusiaan saya cukup terusik ketika mendapati eksistensi kaum waria itu dipandang dengan tatapan yang minor oleh sebagian masyarakat. Bagaimana pun juga, mereka adalah juga manusia yang memiliki hak sederajat dengan manusia lainnya. Maka, tidak selayaknya keberadaan mereka dipandang sebelah mata, apalagi sampai dinistakan dan diasingkan dari hubungan sosial kemasyarakatan.

* * *

Waria adalah akronim dari “wanita pria”. Per definisi, waria kira-kira bisa diartikan sebagai pria yang menyerupai wanita. Secara teknis, untuk menyerupai wanita, pria tersebut telah melakukan serangkaian rekayasa fisik dan, seringkali juga, medik. Mulai dari tata rias wajah dan rambut serta pemilihan busana, hingga tindakan medik berupa penyuntikan silikon untuk memperbesar ukuran payudara dan pinggul, sampai pada tindakan operasi medik pada alat kelamin. Semua itu dilakukan agar wujud fisik mereka benar-benar serupa dengan wanita.

ada apa dengan waria?

Lantas mengapa mereka harus merubah diri menjadi menyerupai wanita? Apa alasan dan apa tujuannya? Pertanyaan seperti inilah yang, hemat saya, sesungguhnya bisa mendorong kita untuk memahami keberadaan mereka secara lebih komprehensif dan adil. Stigmatisasi yang ditimpakan begitu saja oleh sebagian masyarakat dan kalangan agamawan, seringkali disebabkan ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap sebab-musabab pilihan hidup yang ditempuh mereka. Dengan begitu gampangnya mereka dicap sebagai manusia yang “durhaka” kepada Tuhan, dan mengingkari kodrat-Nya sebagai manusia berjenis kelamin pria. Apakah pilihan mereka untuk menjadi waria itu bisa dipersamakan dengan saat kita memilih baju di toko fesyen, misalnya? Saya yakin, tentu saja, jawabannya adalah: tidak!

Pilihan untuk menjadi waria tentu bukanlah pilihan yang diambil tanpa adanya faktor-faktor pencetus/pendorong di dalam diri mereka. Faktor-faktor itu tidak lain adalah kecenderungan genetikal dan pengalaman sosial yang memengaruhi (baca: membentuk) perkembangan kepribadian mereka. Dengan kata lain, mereka memiliki kecenderungan untuk bertabiat seperti lain jenisnya (akibat faktor genetis dan pengalaman sosial tadi). Semakin kuat kecenderungan itu, sudah barang tentu akan kian menuntutnya untuk mengidentifikasi diri dengan lain jenisnya. Bila kecenderungan yang kuat tersebut direpresi, tentu yang terjadi adalah munculnya konflik psikis yang tak ringan. Ujung-ujungnya bisa sangat fatal.

Maka, menjadi amat simplistik bila eksistensi kaum waria itu kemudian dipandang sebagai sebuah patologi sosial, apalagi bila sampai dianggap sebagai bentuk kedurhakaan kepada (kodrat) Tuhan.

Mari kita coba berandai-andai untuk membuat perumpamaan: Tatkala kita sedang didera rasa lapar yang amat sangat dan kita tak punya makanan, sementara kita melihat seseorang melintas di depan kita dengan membawa makanan dalam jumlah banyak, dan orang itu menolak untuk memberikan sebagian makanannya kepada kita saat kita memintanya secara baik-baik, dan lantas kita berusaha merebutnya dengan kasar, apakah tindakan kita itu masih bisa digolongkan sebagai sebentuk kriminalitas? Tentu saja, tidak! (dengan catatan bahwa tak ada cara lain untuk mengatasi rasa lapar itu selain merebut makanan tadi). Dorongan naluriah yang kuat untuk mengatasi rasa lapar itu telah membuat akal sehat kita tak lagi memadai untuk mengendalikan sikap kita, dan itu berarti kita terbebas dari beban kesalahan (karena hukum tak bisa ditimpakan kepada orang yang akal sehatnya tak lagi berfungsi secara memadai).

Saya kira, dan saya yakin, dorongan naluriah pula yang membuat kaum waria mengambil pilihan untuk tak menjadi pria (dengan kata lain, menjadi menyerupai wanita). Dan kalau begitu, maka sesungguhnya hidup sebagai waria itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan keterpaksaan. Karena, sebuah pilihan tentu saja diambil lewat proses selektif dengan mengedepankan pertimbangan rasional dan dilakukan dalam situasi yang bebas. Sedangkan yang terjadi pada diri mereka adalah adanya kecenderungan/dorongan naluriah (dalam intensitas yang kuat) yang amat sulit dihindari sehingga membuat mereka menempuh jalan hidup sebagai waria—sebagai satu-satunya cara “penyaluran” dorongan tersebut. Maka, jangan-jangan menjadi waria itu sendiri adalah juga bagian dari kodrat, sebentuk takdir Tuhan yang tak bisa dihindari, seperti halnya takdir menjadi pria atau pun wanita (?)

Silakan Anda turut berbagi pendapat di sini ... []

27/04/2008

Tidak ada komentar: