Minggu, Mei 04, 2008

I S T I

J Memberantas Maskulinitas

SUATU sore aku mendapati cemooh pedas dari seorang teman, ”wong lanang cap opo kowe iki, kok cengeng!” (Lelaki macam apa kamu ini, kok cengeng). Rupa-rupanya si teman itu prihatin pada tabiat melankoli diri saya. Jujur kuakui, area perasaanku memang terlalu peka (hypersensitive, bahasa kerennya). Dan temanku itu menambah lagi cemoohnya, “wah wah wah, bahaya mbesok kowe lek duwe bojo, bakal dadi jongose bojomu. Mestine wong lanang kuwi dadi rojo, wong wedhok seng dadi jongos. Tapi lek kowe bakale yo kuwalek.” (wah, bahaya nanti kalau kamu punya istri, kamu bakal jadi pesuruh istrimu. Mestinya lelaki itu jadi raja, wanita yang jadi pesuruh. Tapi kalau kamu jadinya nanti malah terbalik).

Jelas saja aku tersudut, tapi juga jadi sadar diri. Ada benarnya juga cemooh teman itu mengenai diriku. Tapi soal pandangannya bahwa lelaki adalah raja dan wanita pesuruh, terus terang aku menentangnya. Itu pandangan yang patriarkis khas jaman feodal, dan lebih jauh lagi adalah pandangan jaman baheula—sejak jaman Adam, mungkin. Mentang-mentang dalam tamsil dikatakan bahwa wanita itu dibikin dari tulang rusuk pria, lantas dikiranya mereka bisa diperlakukan bak boneka atau bahkan babu, apa? Jelas itu pandangan yang picik atas nama ”kodrat”.

Dalam pandangan masyarakat jaman silam, wa bil khusus pandangan masyarakat tradisional Jawa, wanita dianggap sebagai makhluk inferior yang senantiasa butuh perlindungan dan belas kasihan dari lelaki. Entah benar atau tidak, yang jelas dampak dari anggapan tersebut telah menciptakan situasi sosial dan psikis yang muram bagi kaum hawa. Wanita adalah konco wingking, suwargo nunut neroko katut. Itu perumpamaan khas tradisionalis Jawa, ”wanita adalah epigon, teman belakang suaminya. Ke surga numpang, ke neraka ikut (suaminya).” Dan ”postulat” macam itulah yang, disadari atau tidak, telah melahirkan penindasan dalam segala aspek terhadap kaum wanita.

Benarkah wanita itu lemah, hingga butuh perlindungan dari lelaki? Saya tak percaya. Dalam banyak kasus yang terjadi malah sebaliknya. Dalam masyarakat tradisional Bali, pekerja kasar justru kebanyakan adalah wanita. Sementara kaum lelaki hanya bermalas-malasan di rumah dan biasanya kerjaannya adalah adu ayam jago. Ini fakta yang saya jumpai sendiri, dengan mata-kepala saya sendiri, meskipun tanpa melalui serangkaian pengamatan intensif apalagi penelitian ilmiah. Saya rasa itu sudah cukup memadai untuk saya menarik hipotesa bahwa anggapan wanita itu lemah hanyalah mitos belaka. Apalagi di desa saya, tak sedikit wanita yang jadi buruhtani. Mereka sejajar dengan pria dalam soal pekerjaan.

Balik ke soal pribadi. Dulu aku pernah dicemooh ayahku karena prestasiku di sekolah selalu kalah dengan seorang siswa berjender wanita. Di Sekolah Dasar aku selalu menjadi ranking kedua, sementara posisi kampiun selalu dihuni oleh seorang siswa wanita. Dengan lain kata, selama enam tahun aku tak pernah bisa merebut posisi juara satu, dan selalu menjadi pecundang. Mungkin ayahku lupa diri, bahwa pendapatannya sebagai PNS saat itu sesungguhnya amat kecil dan tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pendapatan ibuku yang seorang wiraswasta ulet dan tangguh. Dan andai saja hanya ayahku yang berpenghasilan (dengan gaji kecil sebagai PNS), amat kecil kemungkinan aku bisa kuliah. Dan duit beratus-ratus ribu yang kuhabiskan setiap bulannya saat ini, yang membuatku berada dalam kondisi hidup lebih dari berkecukupan dengan aneka macam fasilitas, juga jutaan rupiah untuk segala keperluan kuliah (yang membuatku tak perlu mengemis beasiswa barang sepeser pun), itu semua adalah karena jerih payah ibuku juga sebagai wiraswastawati. Ini juga bukti bahwa wanita bukanlah makhluk inferior, kan? Dan karena semua itulah mungkin aku jadi amat segan dan tak berani berbantah-bicara pada ibuku, dan sebaliknya aku kadang suka melawan kehendak ayahku (tapi ini lebih terkait dengan sikapnya semata, bukan soal uang. Aku tak pernah menghargai orang atas dasar materi ataupun status dan titelnya).

Dan perlu kuceritakan juga, di Sekolah Dasar itu pula aku pernah didamprat habis-habisan oleh si juara satu itu gara-gara aku usil berbuat ”sesuatu” kepadanya. Kau tahu bagaimana reaksiku? Mirip seekor kura-kura yang hendak disentuh kepalanya. Aku menunduk lesu menahan rasa malu, bersalah, takut, dll. Mukaku merah. Beginilah susahnya jadi manusia yang liar imajinasi (hingga terdorong untuk berbuat usil) tapi di lain sisi juga sensitif perasaan (sehingga gampang merasa bersalah, malu, takut, terluka, dsb). Andai aku bisa meniru gaya kura-kura secara persis sama, mungkin akan kutarik kepalaku masuk ke dalam rongga dadaku, menyembunyikan segala perasaan negatif yang memancar lewat wajahku.

”Tapi bukankah itu sesungguhnya adalah blessing in disguise bagi kaum wanita. Lebih-lebih bagi mereka yang membenci patriarki dan ingin menumpas maskulinitas. Ini adalah kabar baik tentunya, karena tak akan kuasa aku mensubordinatkan mereka barang secuil pun di bawah otoritasku. Dengan kata lain, matriarki akan tegak dengan sendirinya dalam kehidupanku nanti,” saya coba membela diri dengan sedikit berteori.

”Blessing in disguise, hah?? That is a foolish sacrifice, a bad fate for You, not blessing in disguise, absolutely! You will becoming a doll or a puppet for feminist woman. Be careful, bro!” Sialan. Belum puas rupanya cecunguk satu ini mencemoohi aku. Awas, bakal kuadukan bocah ini kepada para feminis, karena secara tak langsung ia telah melecehkan mereka dengan menganggap para feminis itu bercita-cita menjadikan lelaki sebagai boneka mainan. Memangnya itu tujuan gerakan feminisme, membalas dendam kepada lelaki dengan menjadikannya sebagai badut sirkus? Tidak, kan?

”Dasar calon anggota ISTI, ha ha ha ...” ia mencemooh aku lagi. Lagi!

”Apaan tuh ISTI?”

”Ikatan Suami Takut Istri,” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.

”Makanya, jangan terlalu menuruti perasaan. Men are rational creature, not emotional one. it is women bangettt!!!. Mosok ditinggal ngono wae sedih, apene mbrebes mili banyu motone, hu… ora maen!” sambungnya.

Aku tak paham kalimatnya yang terakhir itu, bukan bahasanya tapi maksudnya. Entah apa yang dimaksudkannya, saya malah teringat sepenggal syair lagu Perfect Strangers milik Deep Purple yang dirilis pada 1984 silam:

...

Precious life
Your tears are lost in falling rain

Mungkin bisa dicarikan hubungan antara kalimat terakhir temanku itu dengan sepenggal lirik tersebut. Mungkin … []

04/05/2008

NB. Terimakasih buat Bung Insaf Tarigan yang selalu mengingatkanku untuk segera merampungkan skripsiku dan memintaku segera bertolak ke Jakarta. Tabik, Bung ! …

1 komentar:

Ngatini mengatakan...

pada dasarnya laki en perempuan sama aja..sama2 punya 'onderdil' sebagai manusia. yang bedain cuma 'isi' yang dipunya laki2 dan 'wadah' yang dipunya perempuan. disitulah takdir kalo manusia itu saling melengkapi, tapi secara horizontal..bukan vertikal. tapi kebanyakan lagi2 terlalu egois mengakui keberadaan perempuan sebagai manusia yang sejajar.. so sad...