Kamis, Mei 15, 2008

k a y a


Sebulan lebih tak pulang, bapak meneleponku, kemarin, bertanya kabar, kemudian bertanya soal posisi keuanganku. Kabarku tentu baik-baik saja. Tak akan kujawab jujur seandainya aku sedang tak baik-baik saja, asalkan tak sakit sampai sekarat kan lebih baik mengatakan sesuatu yang tak akan membuat ortu cemas. Soal keuangan, bagaimana pun juga harus dijawab sejujur-jujurnya, kalau tidak maka berarti membuka jalan bagi timbulnya mentalitas korup dan khianat, karena berkelit bicara soal materi bagaimana pun juga adalah laku terkutuk. Maka, bapakku pun berjanji mentransfer rupiah ke rekeningku setelah kuutarakan bahwa jatah sebulan kemarin nyaris tandas.


Lalu pembicaraan beralih ke masalah kuliahku. Bapak bertanya soal skripsiku. Sudah sampai bab berapa, tanyanya. Kujawab jujur, menginjak bab tiga, sembari kujanjikan bakal bisa lulus bulan Juli esok. Tapi bapak justru memesankan kepadaku untuk tak perlu tergesa-gesa, santai saja. Aku paham maksudnya, bahwa ia tak ingin aku diburu-buru target kelulusan yang kubikin sendiri, karena ia khawatir itu akan jadi beban berat di pikiranku. Beliau tekankan pula, tak perlu canggung bila harus keluar biaya lagi karena harus menyambung skripsi di semester depan. Secara tersirat, ia menegaskan padaku untuk tak usah segan merepotinya lagi dalam perkara rupiah, yahh… sekalipun aku sadar usiaku sudah menginjak duapuluh empat yang berarti sudah saatnya sesegera mungkin berdikari. Maka, dalam hati aku bergumam: beginilah enaknya jadi anak orang kaya, lebih-lebih orang kaya yang pengertian, tak minta pun diberi.


Tapi kaya itu relatip, tergantung bagaimana memersepsinya. Selain itu juga relatif dalam komparasinya dengan milik orang lain. Tapi untuk ukuran kami, aku sekeluarga, kami sudah amat kaya karena hidup kami tak pernah kekurangan sepeser pun materi, tak pernah berhutang barang serupiah pun, dan malah berkelimpahan, meruah. Hasil kerja keras bapak dan ibuku semenjak mereka berdua membangun rumah tangga seperempat abad silam, belakangan memberikan hasil yang amat sangat memuaskan sekali—dari segi materi, tentu saja. Sekalipun begitu, jujur adakalanya aku malah merasa muak dengan kelimpahan harta. Karena tentu kau tahu, harta membutuhkan energi dan pikiran bukan saja untuk mengaisnya, tapi lebih dari itu juga untuk menjaganya (inilah bedanya harta dengan ilmu. Kau bisa menumpuk pengetahuan di dalam otakmu tanpa perlu takut dicuri orang atau ludes ditelan api ataupun bencana alam). Banyak orang yang tak sanggup menjaga hartanya, dan banyak lagi yang tak sanggup menerima nasib ketika tiba-tiba hartanya ludes karena suatu sebab. Itulah mungkin yang membuatku segan untuk berpuas diri dan berbangga atas kekayaan keluarga kami.


Semua yang kami butuhkan dapat tercukupi dengan amat mudahnya, seperti tinggal sim salabim ada kadabra saja. Tapi tentu tidak untuk semua yang kami inginkan. Kecuali adikku, kami bertiga—aku, ibu dan bapak—boleh dikata lumayan jago dalam membatasi segala keinginan. Hanya adikku yang sulit untuk diajak membatasi diri. Dan ia pula yang pernah membuat ortuku, terutama bapak, menyesal sedalam-dalamnya karena ia tak mau melanjutkan sekolah. Ia, adikku itu, di-DO saat masih duduk di kelas dua SMA, tiga tahun silam, karena kelewat bengal—suka bolos dan tak pernah memperhatikan pelajaran barang secuil pun. Entah apa yang dimauinya, padahal segala keinginannya nyaris telah terpenuhi semua: motor baru, beberapa alat musik yang jadi keahliannya, dan banyak lagi.


Adikku memang lelaki pemberontak sejati (ia mengingatkanku pada kisah Siti Jenar yang dikutuk jadi cacing tanah oleh ayahandanya). Kau bisa bayangkan bagaimana muntabnya ayahku yang seorang guru punya anak yang justru melecehkan harkat dan martabat lembaga pendidikan tempat ia mengabdi. Maka bapak marah besar, segala sanksi ia coba timpakan kepada adik. Tapi di sinilah tiba-tiba muncul instink positifku—membela adik. Aku tegaskan kepada ortuku, terutama bapak, kesalahan tak boleh ditimpakan kepada adik semata. Bagaimana pun juga, orang tua tentu juga punya andil dalam membentuk kepribadian anak. Maka, bila anak menjadi bengal dan subversif macam adikku itu, orang tua tentu saja punya saham yang tak kecil di dalamnya. Dan pelan perlahan amarah bapak pun mulai mereda, dan ia juga terkesima pada anak sulungnya yang seumur-umur belum pernah bicara panjang lebar apalagi bersebrangan pendapat secara frontal dengannya. Selamatlah adikku dari api amarah ayah yang lebih besar lagi.


Dan masih soal adikku. Suatu kali ia minta dibelikan mobil, dan aku pun kembali angkat bicara, tapi kali ini bukan membelanya melainkan menentangnya. Tentu saja ia hanya ingin gagah-gagahan di depan cewek-cewek dan teman-temannya (ia memang seorang playboy sejati, kontras dengan kakaknya yang pemalu pada wanita). Maka aku pun menentangnya dengan keras. Aku tak ingin materi (dan juga titel) dipergunakan untuk meningkatkan status sosial semata-mata, untuk pamer agar ditatap sebagai orang terpandang. Sumpah!!—siapa pun dalam keluargaku melakukan hal ini, akulah yang pertama-tama akan menentangnya. Aku benci dan muak bila harta dan titel hanya dipergunakan untuk bergagah-gagahan di hadapan orang lain. Bahkan nantinya tak akan pernah kutunjukkan dan kupajang ijasah dan gelar sarjanaku di hadapan siapa pun juga (kecuali kalau aku dituntut untuk melakukannya). Biarlah kalau orang lain tak tahu aku pernah kuliah, lebih baik juga ia tak pernah tahu bahwa aku seorang sarjana. Bahkan kalau saja nantinya calon mertua tak pernah menanya soal status sosial dan titelku, tak akan sekali-kali aku menyatakan diri sebagai sarjana dan anak orang kaya, swear!! Biarlah diriku dinilai secara murni dari segala yang terkandung di badan dan tersemayam dalam kepribadian, bukan dari apa pun juga di luar diri yang superfisial sifatnya.


Dan suatu hari bapakku sempat melontarkan tawaran padaku untuk melanjut studi S-2. Ia sanggup membiayai sehingga aku dimintanya tak perlu harus repot-repot mencari beasiswa segala. Kusambut hangat tawaran itu. Malah aku utarakan untuk melanjut studi ke luar negeri dengan mengupayakan beasiswa. Tapi bapakku malah menanya, berapa sih besaran biaya studi di LN. Dan ia menyatakan mampu menanggung biaya itu setelah kusebut hitungan dan rincian nominalnya. Ia berpesan, andaikata tak mendapatkan beasiswa LN, silakan saja tetap melanjut studi ke LN asalkan ada kemauan kuat dan kebulatan tekad, ia sanggup menanggung biaya. Tapi sejujurnya aku tak tega, bukan kepadanya tapi pada adikku. Kau bisa bayangkan bagaimana perasaanmu saat kau akan menghabiskan duit ortumu puluhan-ratusan juta untuk menggapai cita-citamu yang setinggi langit sementara saudara kandungmu sekolah SMA saja tak tamat. Itulah yang jadi beban di hatiku, ketimpangan antara aku dan adikku dalam menyerap duit ortu. Dan karena itu pula aku kerap didera rasa bersalah kepada adikku.


Kadangkala kusimpulkan, betapa enaknya diriku yang jadi anak orang berharta yang bermurah hati melimpahiku uang dan segala dukungan untuk menggapai cita-citaku. Tapi bila kemudian aku menyadari bahwa aku punya adik yang seperti telah kuceritakan tadi, lenyaplah kesimpulan itu, lebih-lebih bapakku mulai teramat condong keberpihakannya padaku setelah ia merasa dilecehkan dan dikhianati oleh adikku. Terlebih lagi, ada semacam ketakutan pada diriku bila nantinya aku harus diwarisi tumpukan harta oleh ortuku, padahal selama ini mereka memperolehnya dari hasil cucuran keringat sendiri, bukan dari pewarisan kakek-nenekku.


Ah, entahlah. Memang jauh lebih enak mengumpulkan dan menumpuk-numpuk pengetahuan dan segala ilmu daripada mewarisi harta kekayaan. Dan itulah sebabnya mengapa aku segan untuk jadi orang yang kaya-raya. Aku lebih ingin kaya ilmu saja, berkelimpahan pengetahuan, titik! Soal harta benda, asalkan tak sampai kelaparan dan tak jadi gembel dan tak tinggal di rumah dan kawasan kumuh, mungkin itu sudahlah cukup bagiku (entah anak-istriku nanti, ha ha ha) …


15/05/08

Postscripto: ” gitu aja udah nervous and jealous, bro, bro… Mangkane ojo usil ndelok-ndelok fotone… “ kata temanku saat aku masih mengetik catatan ini. Entah apa itu artinya nervous and jealous, aku tak tahu. Yang jelas, kalau ia berkata seperti itu, berarti ia bukan dan tidak termasuk dalam golongan manusia yang gampang nervous and jealous. Dan setahuku pula, ia memang buaya darat (dan entah pula apakah ini ada hubungannya dengan nervous and jealous tadi atau tidak, aku tak tahu). Ya, dia memang buaya darat—jenis makhluk yang paling tak kusukai meskipun aku sesungguhnya juga punya peluang dan kesempatan untuk menjadi serupa itu, karena aku juga lelaki, tapi aku tak sudi, suwerr!!!




Tidak ada komentar: