Jumat, Mei 16, 2008

m e m a s a k

SEJAK awal bulan ini, tepatnya sejak 02 Mei lalu, kami serumah kos punya rutinitas baru, yakni memasak. Kami berlima—aku, Fadli, Restian, Yusa, dan Doni—sepakat untuk membikin masakan sendiri, bukan membeli di warung seperti sebelumnya. Alasan yang paling utama adalah karena kami ingin belajar memasak. Kami, sebagai lelaki, tak mau kalah dengan lain jenis kami. Dengan lain kata, kami ingin berEMANSIPASI. Selain itu, kami juga ingin bersiap-sedia kalau-kalau nantinya kami punya istri yang tak bisa memasak. Kan memang sudah jamannya tho sekarang ini banyak kaum wanita yang bahkan nama bumbu-bumbu dapur saja mereka tak tahu. Apalagi para mahasiswi indekos, yang setiap hari kalau makan selalu beli di warung, kami yakin mereka itu bahkan sekedar menyalakan kompor saja mungkin tidaklah becus.

Maka kami pun setiap hari selalu bangun pagi-buta. Sebelum matahari menampak diri, kami berlima sudah mulai menyibuk diri di dapur dan di sumur. Kami berbagi tugas. Ada yang bagian berbelanja di pasar, ada yang jadi tukang cuci piring, ada yang menanak nasi, dan ada yang bikin sayur dan lauk. Dan saya seringkali kebagian tugas bikin sayur dan lauk. Maklum, bikin sayur dan lauk itu butuh imajinasi tinggi, untuk memadukan bumbu-bumbu dengan komposisi yang pas agar menghasilkan citarasa yang aduhai… membelai-belai lidah… Dan di antara kami berlima, akulah yang paling memadai, karena selain punya daya imajinasi tinggi, aku juga lumayan inovatif, he he… (nyombong dikit aja boleh, kan?)

Sayur favorit kami berlima adalah: tumis kacang panjang dan toge, tumis sawi dan kentang plus wortel, urap kacang-sawi-toge, sayur lodeh terung-kentang-kacang panjang, dan cap jay. Sedangkan lauknya adalah: pepes ikan tongkol, telur goreng ceplok, tumis udang plus tempe-tahu, daging ayam bumbu bali dan kadang juga disemur, dan tentu saja tempe dan tahu goreng.

Anda tahu, memasak itu mirip dengan menggarap skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya. Di situ anda berhadapan dengan bahan-bahan mentah yang siap diolah melalui serangkaian metode-metode untuk menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Anda harus imajinatif dan inovatif menghadapi raw material yang tersedia di hadapan anda itu, agar bisa menghasilkan sesuatu yang benar-benar segar dan baru. Dan satu lagi, unsur obyektifitas tentunya tak boleh dikesampingkan. Anda tentu tak boleh memperlakukan raw material itu ”semau pusar anda sendiri” (sak karepe udhele dewe—bhs. jawa). Anda harus berpegang pada kaidah-kaidah ilmiah. Sebagai misal, anda tentu tak boleh membikin sayur lodeh dengan menyampurkan susu kental manis agar nilai gizi dan kalorinya bertambah. Itu namanya ngawur, dan hasilnya nanti sudah dapat dipastikan akan ancur di lidah dan bisa-bisa akan bikin perut mual. Maka anda harus menghindari sikap ultra subyektif dan juga introvertif, baik saat memasak maupun saat menulis karya ilmiah. Kalau anda menulis karya ilmiah dengan mengedepankan intuisi dan introversi, nantinya karya anda akan lebih mirip fiksi dan puisi, bukan lagi skripsi. Unsur emosionalitas juga harus ditanggalkan dulu untuk sementara waktu, agar karya anda tak kehilangan nilai-nilai keilmiahan.

Dan pagi tadi kami membikin tumis udang plus tahu-tempe untuk bersarapan, sementara sore harinya kami membikin tumis kacang panjang dan toge dengan lauk ikan tongkol dipepes. Dan tentu saja kami merasa puas lahir-batin bisa menikmati hasil kreasi kami sendiri. Dan satu lagi: kami tak pernah menyediakan menu hidangan cuci mulut, karena masakan yang lezat terlalu sayang bila harus diakhiri dengan prosesi cuci mulut yang hanya akan membuat sensasinya tandas tiada bekas … []

16/05/08

1 komentar:

Anonim mengatakan...

setuju, memasak seperti membuat puisi. kadang seperti musikalisasi puisi malah..