Jumat, Mei 23, 2008

Leo Tolstoi dan Anarkisme-positif

JIKA ada seorang bangsawan yang dengan sukarela ”turun derajat” menjadi rakyat jelata, Leo Tolstoi-lah orangnya. Lyof Nikolayevich Tolstoi, begitu nama lengkapnya, dilahirkan pada 1828 sebagai putra keempat dari lima bersaudara keturunan keluarga bangsawan Rusia. Keluarga ini merupakan pemilik tanah yang amat luas di wilayah bernama Yasnaya Polyana yang terletak 160 kilometer arah selatan Moskow.

Tolstoi disebut-sebut sebagai salah satu sastrawan terbesar dunia sepanjang masa. Dari tangannya, telah lahir 90 jilid karya. Tiga di antara karya-karyanya itu menjadi master-piece yang hingga saat ini telah beredar di seluruh penjuru dunia, yakni Voina I Mir (Perang dan Damai), Anna Karenina, dan Voskresenyinye (Kebangkitan).

* * *

Dalam tulisan ini, saya coba mengungkap pandangan dan pemikiran Tolstoi terhadap eksistensi negara, terutama yang ia tuangkan dalam novel Kebangkitan. Sekedar sebagai informasi, novel ini memakan waktu penggarapan paling lama dibandingkan karya-karya Tolstoi yang lainnya, yakni sepuluh tahun (1889-1899), dan diakui sendiri oleh Tolstoi sebagai kisah titik-balik pandangan dan sikap hidupnya sebagai keturunan bangsawan terhadap praktik sosial, hukum, kekuasaan, dan juga agama di Rusia pada masa itu.

Dalam novel Kebangkitan, Tolstoi menitik-beratkan pandangan kritisnya pada praktik kekuasaan negara dan hukum oleh para autokrat dan kaum aristokrat (Rusia pada masa itu masih berbentuk monarki absolut). Pertama, Tolstoi mengritik tirani negara dalam bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat yang dilakukan melalui sistem penghambaan (serfdom) di mana dalam sistem ini kaum petani diperjualbelikan sebagai budak. Kedua, Tolstoi mengritik secara tajam praktik (penyelewengan) hukum dan kekuasaan negara, di mana hukum diberlakukan kepada rakyat secara keji terutama dalam bentuk pembuangan para tahanan ke Siberia, baik tahanan kriminal maupun tahanan politik. Siberia adalah tempat pembuangan dan kamp kerja-paksa bagi para tahanan, di mana para tahanan diperlakukan secara keji dan sangat tidak manusiawi (mirip Pulau Buru di Indonesia yang di masa pemerintahan Orde Baru menjadi tempat pembuangan dan kamp kerja-paksa bagi puluhan ribu tahanan politik yang dituduh — tanpa melalui proses pengadilan — sebagai anggota Partai Komunis Indonesia).

Sebagai bagian dari kaum aristokrat Rusia, Tolstoi justru merasa muak dan benci kepada prilaku kaumnya yang bergaya hidup borjuis dan dengan terang-terangan mempraktekkan penindasan dan eksploitasi kepada golongan petani — golongan terbesar dalam masyarakat Rusia pada masa itu — dan rakyat jelata lainnya. Menurut Tolstoi, hal ini tidak terlepas dari negara yang memang melindungi dan bahkan mendorong kebijakan yang tiranik, despotik, dan eksploitatif kepada golongan petani dan rakyat jelata secara keseluruhan — hal yang lazim dilakukan oleh rezim monarki absolut di mana pun pada masa itu. Tolstoi pun pada akhirnya, walau secara samar-samar, menyerang eksistensi negara — yang terepresentasikan dalam prilaku penguasa dan kaum bangsawan serta praktik hukum seperti tersebut di atas. Melalui Dmitrii Nekhlyudof, tokoh sentral dalam novel Kebangkitan, Tolstoi menggugat kemunafikan praktik hukum dan kekuasaan negara:

”kenapa dan dengan hak apa satu golongan orang (penguasa) menyekap, menyiksa, membuang, mencambuk dan membunuh orang lain, padahal mereka sendiri sama saja dengan orang yang mereka siksa, mereka cambuk, dan mereka bunuh itu?”

(hlm. 399)

Dalam novel ini, secara implisit Tolstoi menolak eksistensi negara yang dianggapnya sebagai “monster” yang mengancam keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Negara, dengan birokrasi dan segala macam alat kekuasaannya, justru menjadi mesin pembunuh dan lembaga yang mempraktekkan segala bentuk penindasan terhadap kebebasan manusia. Tolstoi sendiri meyakini bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan selalu menginginkan harmoni dengan sesamanya. Masyarakat, dalam pandangan Tolstoi, akan mencapai kondisi yang harmonis dan penuh kerjasama serta saling bersinergi bila individu-individu di dalamnya diberi kebebasan penuh dan tunduk pada nilai-nilai etika yang diterapkan di dalam masyarakat. Pandangan tersebut nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Jean Jacques Rousseau — filsuf besar Perancis abad kedelapan belas. Selain itu, ia juga menuntut dihapuskannya lembaga keningratan, karena eksistensi kaum ini di dalam masyarakat Rusia dijamin melalui sistem perbudakan terhadap petani dan didukung dengan yurisdiksi serta praktik keagamaan yang membela dan mengukuhkan posisi kaum tersebut.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap segala praktik kekuasaan negara yang tiranik, despotik, dan eksploitatif tersebut, Tolstoi menyerukan perlawanan pasif (Anarkisme-positif)* dan dengan tegas menolak segala bentuk revolusi sosial (seperti revolusi proletarian ala Marxisme, misalnya). Sementara itu, di tingkat individu Tolstoi mengusulkan agar setiap orang menyempurnakan diri sesuai ajaran Humanisme dan Ketuhanan (Yesus) di dalam agama (Kristen) yang masih murni, yang belum dinodai oleh penyelewengan kaum agamawan (gereja) demi kepentingan mereka sendiri yang mengabdi dan turut mengukuhkan kedurjanaan kekuasaan negara. Kritik kerasnya terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh kaum agamawan inilah yang membuatnya diekskomunikasikan (dikucilkan) oleh Sinoda Gereja Ortodoks Rusia di St-Petersburg, persis setelah novel Kebangkitan diterbitkan.

Paralel dengan sikap penolakannya terhadap eksistensi negara, Tolstoi mengidamkan masyarakat yang hidup dalam komuni-komuni kecil yang saling bersinergi dan terikat dengan nilai-nilai moral dan etika yang akan menjamin keberadaan dan kelestarian masyarakat yang adil, sejahtera, dan penuh kebebasan. Tolstoi tidak mempercayai efektifitas hukuman yang dipraktekkan oleh negara, dan karena itulah ia menyerukan tindakan melawan hukum (negara) dengan perlawanan pasif tersebut. (Metode perlawanan pasif inilah yang kemudian diadopsi oleh Mahatma Gandhi untuk melawan penjajahan kolonialis Inggris di India, dan juga oleh Dom Helder Camara di Brazil dan Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat untuk melawan kekuasaan negara yang korup, diskriminatif-rasis, dan menindas.)

* * *

Tolstoi sendiri pada akhirnya melepas status kebangsawanannya, kemudian membagi-bagikan tanah luas miliknya di Yasnaya Polyana tersebut kepada para petani, dan ia pun hidup membaur dengan para petani di sana. Sejak saat itu, ia bukan lagi Tolsoi yang bangsawan, melainkan Tolstoi yang seorang petani dan turun langsung menggarap tanah pertaniannya bersama-sama rakyat kecil yang amat dicintai dan diabdinya itu.

Tolstoi meninggal pada awal musim dingin 1910 dalam usia 82 tahun di sebuah stasiun kecil di kota Astapovo karena terserang demam saat ia melakukan perjalanan seorang diri dengan menumpang kereta api. Jenazahnya dilayat puluhan ribu orang dan dikebumikan di Yasnaya Polyana, di tengah-tengah komunitas petani dan rakyat jelata yang amat dicintainya itu.

Namun tujuh tahun setelah kematian sastrawan besar tersebut, Rusia justru dibakar api revolusi: Revolusi Bolshevik di bawah komando Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin itu. Pertumpahan darah-pun tak terhindarkan. Dan masa-masa penuh horor pun telah tiba untuk mencekam kehidupan masyarakat Rusia. Marxisme-Komunisme Rusia, terutama sejak naiknya Joseph Stalin ke tampuk kekuasaan sepeninggal Lenin pada 1924, telah menjelma menjadi ideologi politik teror tak hanya di Rusia tapi juga di seluruh dunia. Setali tiga uang dengan kondisi di Rusia, di Eropa Timur, China, Kamboja, dan negeri-negeri sosialis lainnya, jutaan nyawa dikorbankan atas-nama Komunisme: paham yang memimpikan lenyapnya negara namun anehnya justru dilakukan dengan terlebih dahulu memperkokoh kekuatan dan kekuasaan negara dengan cara membangun pemerintahan Diktator Proletariat yang ditempuh lewat jalan penuh amarah dan berdarah-darah — Revolusi Proletarian itu.

Tolstoi benar ketika ia menyerukan perlawanan pasif terhadap kedurjanaan kekuasaan negara — perlawanan tanpa kekerasan itu. Namun kaum Bolshevik Rusia nampaknya justru menganggap sepi seruan tersebut, dan akhirnya malah membawa Rusia (dan pada gilirannya juga dunia) menuju situasi kelam penuh horor dan teror — revolusi ala Marxisme yang menghalalkan darah dan nyawa itu… []

--------------------------------------

Keterangan:

* Anarkisme didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum — dan labih jauh lagi adalah sebuah paham yang menolak eksistensi negara. Sementara itu, Anarkisme-positif didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dan negara yang dilakukan melalui cara-cara damai dan pasif (non-violence). Selengkapnya lihat: entri Anarkisme. Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 02. Cipta Adi Perkasa. 1991.

Bahan bacaan:

1.) Kebangkitan. Leo Tolstoi. Diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer. KPG. 2005.

2.) The God That Failed. Richard Crossman, ed. Bantam Books. 1965.

3.) Spiral of Violence. Dom Helder Camara. Sheed and Ward. 1971.

4.) Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 02. Cipta Adi Perkasa. 1991.

5.) Bayang Bayang. A. Sudiarja. Galang Press. 2003.


NB. Terimakasih kepada sesorang yang telah membikin tulisan berjudul “ten commandments” — walaupun ternyata isinya samasekali tak ada hubungannya dengan judulnya yang notabene adalah ”Sepuluh Perintah Tuhan” kepada Musa itu.

( Mungkin sang penulis ingin bermain-main dengan Tuhan kali ya? Atau jangan-jangan malah ingin jadi tuhan? Ah, bukankah bahasa tidak boleh dimonopoli oleh siapa pun juga, termasuk oleh Tuhan. Bahasa, menurut Roland Barthes, senantiasa terbuka untuk direinterpretasi secara terus menerus guna menghasilkan makna-makna baru. Atau menurut konsep Dekonstruksi-nya Derrida: bahasa yang memiliki makna tunggal akan cenderung bersifat hegemonik — dan karena itulah ia harus didekonstruksi. )

Tulisan seseorang yang saya dapati di wordpress-nya itulah yang telah mendorong dan menginspirasi saya untuk membikin tulisan di atas. Miss, eh sori… Thank you so much…

Wahyu Puspito S

23 Mei 2008


2 komentar:

Insaf Albert Tarigan mengatakan...

Aku rasa tulisanmu kali ini yang terbaik dari sebelumny ayang pernah aku baca. Karena menurutku ini salah satu bagian kecil dari ratusan tulisanmu yang masuk dalam kategori "serius" di luar cinta dan keluh kesah soal cinta juga, he...he...he..

Aku sendiri belum pernah, meskipun sangat ingin membaca novel di ayang diterjemahkan koesalah s Toer itu. Jadi tulisanmu sedikit membantu.

Aku hanya tiba-tiba teringat, komunitas samin yang juga melakukan hal yang hampir sama denga tolstoi. Jadi yang nun jauh di sana juga ada di sini. Tapi yang di sini sering kita anggap kolot, terbelakang, karen kearifan dan kebajikan mereka tidak dibukukan dan dipajang di ruang ber AC Gramedia, tohhhhh...????

espito mengatakan...

kau bisa aja bung.. lha aku bisa nulis beginian jga krn ada dorongan cinta kok. liat aja NB-nya, swear..

ha ha..

thanks..