Senin, Mei 26, 2008

Requiem 24

Requiem 24


Selamat, diriku. Selamat! Selamat engkau telah genap duapuluh empat warsa menghuni dunia, hari ini. Selamat engkau tetap tak menggenggam usiamu sendiri. Engkau tetap tak tahu sampai di titik mana batas umurmu. Andai kau tahu, mungkin kau akan bermalas-malasan dalam hidup. Atau malah mungkin kau akan berputus asa andai tapal itu kau rasa teramat dekat sementara kau teramat mencinta dunia secara berlebih-lebihan.


Bersyukurlah, diriku. Bahwa kau telah duapuluh empat warsa dalam usia. Bersyukurlah bahwa kau telah banyak cecapi pahit-manis-getirnya hidup.

Bersyukurlah bahwa segala suka dan duka telah berimu curahan makna. Dan hidupmu pun tak berasa hampa.

Bersyukurlah, diriku. Bahwa kau tetap tak tahu batas usia. Dan karena itulah kau masih tetap berdiri, melangkah, dan terus mencari..”


Hari ini, 26 Mei 2008, saya genap duapuluh empat warsa. Saya ber-“ulang tanggal dan bulan” (bukan ber-“ulang tahun”, karena hitungan tahun tak pernah berulang—senantiasa berganti, tak pernah kembali). Tak ada perayaan, tak ada apa pun bentuk acara peringatan.


Bertambahnya usia adalah berkurangnya jatah hidup di dunia. Dengan lain perkataan, ia adalah sebuah isyarat kian mendekatnya hidup pada mati. Lantas, bagaimana mungkin momen kalkulasi yang bernilai minus dari tahun ke tahun itu justru dirayakan banyak orang dengan pesta pora (?)


Oh ya, saya nyaris lupa. Bukankah kematian semestinya memang perlu disambut penuh sukacita? Ya, saya setuju itu. Kematian adalah pintu menuju hidup dan kehidupan lain: alam tanpa tragika, tanpa akhir, abadi—kata Kitab Suci. Kematian adalah sebuah jalan pembebasan diri dari aneka macam belenggu problematika dunia. Kematiaan adalah saat-saat mendebarkan karena penantian akan tibanya momen pertemuan dengan Sang Maha Segalanya; perjumpaan dengan Dzat yang menggetarkan dan menggentarkan manusia itu. Dan itu semua tentu sangatlah indah adanya.


Tapi siapa pun akan ragu kala membincangkan kematian: atas dasar apa kita yakin akan bersitemu dengan Sang Maha, sementara diri banyak dirundung noda dosa? Saya sendiri tiada kuasa menjawabnya. Hanya satu hal yang coba saya pegang kuat-kuat dalam dada: Dia jauh lebih memahami kondisi kita daripada diri kita sendiri. Dan saya coba berusaha yakini seutuh hati: siapa pun merinduNya, ia juga dirindu olehNya, malah dengan Kerinduan yang berlipat ganda besarnya. Dan rindu kepadaNya itu, seperti kata Rabi’ah Al-adawiyyah, wanita sufi abad kedelapan masehi dari Bashrah (Irak) itu, hanya muncul pabila manusia mencintaNya dengan cinta yang murni, cinta yang semata-mata mendamba padaNya, bukan lantaran harapan atau pun rasa takut. Atau dalam bait mistis milik Jalaluddin Rumi:

Bila kematian itu manusia

yang dapat kupeluk erat-erat,

aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih

dan tak berwarna;

dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna,

hanya itu!


Apakah dengan mendambakan kematian tak lantas berarti hidup dalam keputusasaan? Tidak. Justru karena saya sadar sepenuhnya, ajal tak bisa ditampik siapa pun juga. Malah, ia kerap datang tak terduga—tak perlu menunggu hari tua. Sekedar menyebut beberapa nama besar, Soe Hok Gie dan Chairil Anwar tutup usia di titik 27 warsa. Maka, atas dasar apa saya akan ingkar pada kehendakNya yang misteri itu (?) Bukankah justru hidup tak akan jadi beban berat di kala kita sadar bahwa ia sesungguhnya adalah karib kematian (?)


Baiklah. Mungkin di tahun-tahun mendatang (bila saya masih hidup) saya akan merayakan momen ini dengan selebrasi, bahkan kalau perlu saya akan bikin pesta. Tapi pesta itu tentunya tak akan saya maksudkan sebagai momen peluapan gembira pada aneka kenikmatan dunia hingga menyebabkan pelupaan pada kematian. Dalam pesta itu saya akan ajak diri saya sendiri untuk mensyukuri dan menyambut dengan penuh sukacita momen kian mendekatnya hidup pada gerbang kehidupan yang lain—pada ajal.


Dan kematian makin akrab,” bunyi sepenggal kalimat dalam sajak Subagio Sastrowardojo—si bapak pujaan hati saya, Diandra Paramitha Sastrowardoyo. (sekali waktu jadi pungguk perindu bulan pun tak mengapa—karena hati memanglah tiada tahu diri, dan logika kerap kali tak berfungsi memadai...)


Baiklah, baiklah. Saya akan coba berusaha merindukan kematian sepanjang itu tak membuat hidup jadi meredup—dan tak pula itu bersebab pada hidup yang sedang redup. Saya akan coba!




2 komentar:

Insaf Albert Tarigan mengatakan...

SELAMAT ULANG TAHUN BUNG....SEMOGA LEKAS LULUS!!!!!!

SUBAGIO ITU BUKANNYA OM-NYA SI DIAN?

espito mengatakan...

oh iya kali bung. lha teros bapaknya sapa namanya, kok aku malah gak tau, heh?