Sabtu, Juni 21, 2008

B 360 LO

What is in a name?! — Shakespeare’s said..


Alex. Begitulah teman-teman biasa memanggilku, baik teman-teman kuliah maupun teman-temanku nongkrong di mal. Tapi itu cuma nama panggilan, nickname. Nama asliku, nama pemberian kedua orangtuaku, tidaklah seindah nama panggilanku itu. Sejak kecil aku dipanggil dengan “Lek”, bukan “Lex”. Ya, “Lek”, atau terkadang “Kan”, karena memang nama asliku adalah Solekan. Dan nama panggilan “Alex” itu adalah hasil kreasiku sendiri.


Jujur saja aku malu dipanggil dengan nama asliku, Solekan, karena nama itu berbau desa sekali, sangat ndeso. Sudah enam tahunan ini aku punya nama panggilan Alex, tepatnya sejak aku kuliah di Jakarta. Dulu, sebelum menginjakkan kaki di ibukota negara ini, sejak masih kecil hingga tiga tahun duduk di bangku SMA, aku samasekali tak pernah merasa risih dengan nama panggilan Solekan. Nama teman-temanku di sekolah dulu adalah Parto, Tejo, Untung, Karno, dan banyak lagi nama-nama khas desa lainnya. Tapi di metropolitan ini, semenjak aku tahu bahwa nama teman-teman kuliahku semua terdengar indah dan mentereng di telinga, aku pun nekad ganti nama. Setidak-tidaknya ganti nama panggilan, ganti nickname. Sungguh, aku malu sekali harus memperkenalkan diri dengan nama Solekan, sementara teman-teman kuliahku memperkenalkan diri dengan nama Johan, Rendy, Tomy, Andre, Thomas, dan banyak nama-nama keren lainnya yang sebelumnya hanya aku tahu di sinetron-sinetron saja.


Dulu, pernah sekali waktu aku nekad memperkenalkan diri dengan nama Solekan kepada teman kuliahku yang bernama Tomy. Lantas apa katanya, coba? “Wah, tampangmu memang keren. Tapi asal tahu saja, kalau nama panggilanmu Solekan, mungkin kamu gak bakalan bisa masuk mal dan kafe. Mending kamu ganti nama aja deh, minimal ganti nama panggilanmu. Jangan bawa-bawa lagi nama udik itu. Kalau tidak, bakalan terkena sanksi sosial ntar kamu!”


Semenjak menerima kritik tajam dari Tomy itulah aku mulai minder setengah mati dengan nama pemberian orangtuaku, nama yang telah delapanbelas tahun lamanya menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Teringat akan ancaman seriusnya menyangkut “sanksi sosial” yang bakal aku terima bila tetap nekad mempertahankan nama pemberian orangtua, maka aku pun ganti nama. Tadinya aku sempat punya keinginan untuk memakai nama “Jackie”, tapi aku kemudian sadar bahwa nama panggilan itu adalah milik istri mendiang John F. Kennedy, presiden Amerika yang mati ditembak oleh warganya sendiri itu.


Dua hari kemudian aku baru ingat satu hal yang merupakan salah satu ide paling cemerlang seumur hidupku. Bukankah aku selama ini dipanggil dengan nama panggilan “Lek”? Aha!! ya, kenapa tak menggunakan nama Alex saja, ya, A-L-E-X. Eureka!!!—aku girang bukan main waktu itu, persis Archimedes yang baru saja menemukan cara mengukur volume benda padat yang tak beraturan bentuknya. Ya, aku telah menemukan ide brilian, mengganti nama panggilanku menjadi “Alex”. Akan aku umumkan pada khalayak nama panggilan baruku itu. Ya, aku akan bikin pengumuman kepada semua orang agar mereka tahu ide brilian yang baru saja kugali dari dasar otakku itu.


Semenjak saat itulah, aku dengan penuh percaya diri memperkenalkan nama baruku itu kepada seluruh teman-teman kuliah dan teman-teman penghuni rumah kosku. “Kenalkan, Alex,” begitu tiap kali aku berkenalan dengan teman baru. Bahkan ketika berada di atas angkutan umum pun aku tak lupa memperkenalkan diri dengan nama baruku itu. Dan satu lagi, tak lupa pula aku umumkan kepada dosen-dosenku di kampus bahwa aku tak ingin lagi dipanggil dengan nama Solekan sebagaimana yang tertera di daftar presensi kuliah. Aku maklumatkan kepada mereka semua, nama panggilanku kini adalah: “Alex”. Ya, A-L-E-X ! Mendengar maklumat itu, dosen-dosenku hanya tersenyum geli. Dan semenjak saat itulah, nama “Solekan” lenyap bak ditelan bumi, kini yang ada dan dikenal semua orang adalah nama “Alex”. “Lex,” begitulah panggilan singkat yang diucapkan semua orang kepadaku.


* * *


Di mana pun aku berada, kepada siapa pun aku berjumpa, tak pernah lupa aku memperkenalkan diri dengan nama panggilan baruku itu. Rekan-rekan sesama karyawan di kantor bahkan tak ada yang tahu nama asliku, kecuali mereka yang duduk di bagian personalia, karena mereka tentu saja telah membaca dokumen-dokumenku saat aku melamar kerja di kantor ini. Tapi, persis dengan yang aku lakukan terhadap dosen-dosen kuliahku dulu, aku maklumatkan kepada orang-orang di bagian personalia itu bahwa nama panggilanku adalah Alex, dan aku arahkan mereka agar tidak sekali-kali memanggilku dengan nama asliku yang ndeso dan tak punya nilai jual itu. Bagaimana pun juga, nama panggilan baru itu aku reka-reka selama dua kali duapuluh empat jam, dua hari dua malam, lamanya—sebuah penemuan besar yang patut dihargai, tentunya.


Tapi inilah kisah antiklimaks, titikbalik, dari euforiaku pada nama panggilan baruku selama ini. Di sebuah pagi yang cerah, saat aku berada dalam perjalanan di atas bus Transjakarta untuk menuju kantor tempat kerjaku, kutemui seorang wanita muda belia cantik jelita di dalam bus eksklusif itu. Ia duduk persis di sampingku, di dekat pintu bagian depan. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan momen ini untuk show of name kepadanya. Kepada para sopir bus Transjakarta saja aku amat antusias memperkenalkan nama panggilan baruku itu, apalagi kepada wanita jelita dari surga yang sedang duduk di sampingku ini. Tak akan aku sia-siakan.


“Kenalkan, nama saya Alex,” kuulurkan tangan kananku laiknya Sri Rama mengulurkan tangannya kepada Dewi Shinta sehabis menaklukkan si raja lalim Rahwana.


“Saya Iyem. Sepertinya saya pernah kenal Anda?” ia mengulurkan tangan kanannya yang putih mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Kujabat erat penuh wibawa. Tapi kemudian aku tertegun. Kalimatnya yang kedua pun seolah-olah tak pernah aku dengar di telingaku, karena kalimatnya yang pertama telah membuat kesadaranku terlempar dari atas bus Transjakarta dan jatuh berguling-guling di atas jalanraya, tertabrak mobil-mobil yang berlalu-lalang menuju tempat kerja tuannya. Aku kira namanya adalah Jinny, Nancy, Rindy, atau paling tidak: Luna atau Mitha. Iyem? Uh, aku jadi teringat kata-kata bertuah si Tomy yang telah merubah secara radikal pandanganku terhadap hakikat sebuah nama. Dan laiknya seekor burung beo, aku tirukan nyaris persis, hampir seratus persen, ucapan Tomy enam tahun lalu tatkala pertama kali aku berkenalan dengannya di bangku kuliah.


“Wah, tampangmu memang keren. Tapi asal tahu saja, kalau nama panggilanmu Iyem, mungkin kamu gak bakalan bisa masuk mal dan kafe. Mending kamu ganti nama aja deh, minimal ganti nama panggilanmu. Jangan bawa-bawa lagi nama udik itu. Kalau tidak, bakalan terkena sanksi sosial ntar kamu!” Muka wanita itu langsung merah-padam, kemudian menyeringai persis kucing-kucing yang saling berebutan sepotong ikan. Menyadari ketololanku, aku pun langsung didera rasa berdosa. Dadaku bergemuruh tak sanggup lagi menampung jantungku yang tiba-tiba saja naik berlipat-lipat frekuensi detaknya. Seketika itu pula mukaku jadi pucat pasi kehabisan darah.


Kala itu, waktu berasa melambat seperti halnya yang dirasakan para serdadu saat menghadapi hujan tembakan musuh. Sedetik rasa satu jam lamanya. Keringat berkucuran deras di sekujur tubuhku. Hingga akhirnya Iyem, wanita jelita itu, tiba-tiba membuyarkan gunung dosa yang menumpuk sesak di dadaku.


“Iyem adalah nama pemberian orangtuaku. Pantang bagiku untuk mengutak-atiknya. Harap Kau tahu, aku bahagia menyandang nama itu, tiada sedikit pun rasa malu di hatiku hanya karena sebuah nama. Bagiku, nama tak bisa dipersamakan dengan merek produk yang mesti punya nilai komersil. Nama adalah identifikasi diri, bahkan di dalamnya terkandung sebuah harapan dari kedua orangtua kita.” Oh, my God... kata-katanya yang santun, halus tanpa sebutir pun kerikil kemarahan dan kebencian di dalamnya, telah membuat jantungku kembali berdetak normal seperti semula.


“Maafkan kelancangan saya tadi. Saya terlampau bersemangat memperkenalkan nama panggilan baru hasil kreasi saya sendiri itu. Sekali lagi maaf,” aku masih belum berani memandang wajahnya. Wajahku masih tertekuk menekuri lantai bus—ekspresi khas manusia yang sedang menyesali dosa-dosanya.


“Kalau tidak keliru, sepertinya saya pernah kenal Anda?” Ia bertanya penasaran. “Eh, kalau tidak salah, kamu Solekan temanku di SD dan SMP dulu, ya ‘kan?”


“Ya ampun, jadi kamu Iyem temanku itu?!” aku melongo sejenak, lantas girang bukan kepalang. Rupanya wanita jelita di sampingku ini adalah temanku di SD dan SMP, belasan tahun silam. Tapi seketika kegembiraanku itu terinterupsi oleh ingatan lamaku terhadapnya. Dulu, sewaktu masih duduk di bangku SD dan SMP, aku sering mengolok-oloknya. Aku sering mencibir namanya yang mirip nama seorang pembantu rumahtangga di sinetron-sinetron picisan itu.


Pariyem, ya, Pariyem... Persis nama tokoh protagonis dalam kisah yang direka-reka Linus Suryadi; kisah seorang pembantu rumahtangga di kaki Merapi, yang lugu dan polos dan sempat berkali-kali ’digagahi’ majikannya itu. Oh, tapi ini Iyem yang lain; Iyem yang semoga Gusti Pengeran melindunginya dari kebinalan dan kebiadaban napsu lelaki mana pun juga...


... Oh my God, betapa tak hanya ulat saja yang sanggup bermetamorfosa. Iyem, ya, Iyem si gadis yang dulu amat lusuh seperti seragam buruh pabrik gula itu, kini telah berubah menjadi wanita jelita, sungguh, sumpah! Sekalipun cerdas, dulu Iyem memang amat lugu dan polos (ya persis si Pariyem-nya Linus itu) dan karena itu ia sering dijadikan obyek olok-olok dan sindiran siswa-siswa lelaki bengal seperti aku ini. Tapi kini, aku berani bertaruh, anak menteri pun akan ngiler melihat kecantikan paras dan tubuhnya.


* * *


Semenjak kejadian di atas bus Transjakarta itu, aku tak pernah lagi memperkenalkan diri dengan nama “Alex”. Sungguh, aku malu dengan si Iyem. Ia yang cantik jelita saja tak merasa malu harus menggunakan nama aslinya, nama pemberian orangtuanya. Semenjak saat itu, aku kembali menggunakan nama panggilanku semula. Kepada siapa pun juga, kini aku kembali memperkenalkan diri dengan nama pemberian orangtuaku, seadanya. Nama itu, nama pemberian orangtuaku, seperti kata Iyem, mengandung harapan dari sang pemberinya, yakni kedua orangtua yang telah membuat aku terlahir ke dunia ini.


Semenjak kejadian di pagi itu, nama “Solekan” kembali muncul dari perut bumi, dan nama “Alex” itu aku pendam dalam-dalam di dasar Samudera Hindia sana. Iyem, ya, gadis lusuh, lugu dan polos belasan tahun silam itu telah membalikkan secara revolusioner pandanganku terhadap hakikat sebuah nama, sebagaimana dulu Tomy juga mengubah pandanganku secara radikal terhadap hal yang sama. Iyem, kini ia bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor milik salah satu departemen paling kaya di negeri ini. Gadis yang telah bermetamorfosa menjadi wanita jelita itu tetap saja polos dan lugu, samasekali tak neko-neko. Ia tak kehilangan citarasa kedesaannya sekalipun telah menjadi warga ibukota negara.


Ah, terimakasih Iyem untuk kejadian di pagi hari itu. Terimakasih juga untuk bus Transjakarta berplat-nomor B 360 LO yang telah menjadi saksi-bisu kisah itu, kisah revolusioner tentang hakikat sebuah nama... []


Dalam Khayalan Mendung, 22-23 Maret 2008

1 komentar:

Lovely Dee mengatakan...

Memang benar mungkin kata pepatah bahwa nama adalah do'a.. Yah, ortu kita memberikan kita nama tentu disertai dengan do'a dan harapan yang terbaik untuk kita.. :)

Btw, aq pas SD juga pernah minta ganti nama.. Hehehe... Coz yang punya nama dyah udah seabreg... :p