Selasa, Juni 17, 2008

M a k a n A t i ! ! !

Kalo ada orang yang telah lima kali dikecewakan oleh seseorang yang amat-sangat diharapkan perhatiannya tapi masih juga tidak kapok dan masih terus berharap pada seseorang itu, orang itu adalah saya. Lima kali saya berharap; lima kali kirim short messege service; lima kali bikin janji; dan lima kali dikecewakan. Kurang apa coba?


Yach, andai saya bukan orang yang sedang dalam masa perjuangan mengasah dan sekaligus melapangkan hati, mungkin saya sudah meninggalkannya; mungkin dia, seseorang itu, sudah tidak saya ‘anggap’ dan perlukan lagi. Tapi sumpah, saya masih belum kapok dan gak akan kapok. Yach, sekalipun sudah lima kali ini saya dibikin kuciwa… diingkari. Tapi mau gimana lagi, saya sudah ada ikatan sama dia, jadi ya… gak bisa dan gak akan pernah bisa lari ke mana pun juga, suwerrr!!!—sekalipun tho, makan ati banget, nget!!!


Maka sesungguhnya kisah yang sebenarnya saya harapkan akan menjadi titik klimaks ini terjadi sore tadi. Saya datang ke rumahnya dengan sejuta harapan yang saya gantungkan tinggi-tinggi. Di rumahnya, saya diterima dengan sebegitu hangat dan akrabnya. Kami bersikenal. Maklum ini kunjungan pertama saya ke rumahnya. Sebelumnya saya cuma ketemu dia di kampus, jadi tak ada samasekali kehangatan suasana; tak ada keakraban di antara kami berdua.


Di rumahnya itu saya dan dia saling bertukar bicara, dan tak sekedar berbasa-basi—sungguh! Maka secercah asa terbit kala itu. Harapanku menyembul. Saya kira, kali ini pasti saya tak akan dikecewakannya lagi seperti sudah empat kali dia lakukan terhadapku sebelumnya. Tapi siapa berharap muluk-muluk, bersiaplah ia dikecewakan. Dan, benar adanya… saya sekali lagi harus menenggak tablet bermerek ke-ce-wa…


Saya pun pulang ke rumah kos dengan merasakan pahitnya tablet kecewa yang memudar di tenggorokan. Sesampai di rumah kos, empat teman penghuni rumah kos telah siap sedia menyambut kedatanganku. Bukan untuk memberi ucapan selamat atau empati buat kekecewaan yang kualami. Bukan. Tapi ini: aku didorong menuju dapur dan di sana telah disiapkan tiga onggokan hati ayam, untuk apa lagi kalo bukan untuk dimasak. Yach, aku disuruh masak tiga onggok hati ayam.


Keterlaluan memang teman-teman serumah kosku itu. Sudah tau aku gak doyan makan ati, ehh.. dipaksanya juga buat masak ati ayam. Sumprit, aku agak jengkel. Tapi untungnya ada delapan ekor ikan pindang juga yang siap dimasak, so saya nanti bisa makan ikan pindang itu saja, tak bakalan ikut-ikutan makan ati.


Sehabis maghrib, masakan telah siap disikat (dimakan, maksudnya). Dan, lumayan juga penampilan si ikan-ikan pindang yang saya goreng itu disandingkan dengan secobek sambal tomat (tanpa terasi, karena kami semua gak doyan terasi; karena terasi itu proses pembikinannya jorok). Saya lahap empat pindang goreng itu (dan saya gak ikut-ikutan makan ati lho… suwer!!!). Ehmm, lumayan buat ngobatin ke-kuciwa-an saya, kuciwa bersebab saya cuma dikasih janji-janji belaka. “Besok aja ya, di kampus. Sekarang saya masih ada urusan lain,” sepenggal kalimat yang selalu di-reff dosen pembimbing pertama skripsi saya itu.. (yeeekk… anda sangka seseorang yang kumaksud itu adalah wanita pujaanku, ya??? Makanya, jangan asmara-minded dong…)


16/06/2008


1 komentar:

sang petualang mengatakan...

hahaha....
bukannya aku ngetawain, tapi kita punya masalah yang sama soal dosen. dulu, waktu skripsi aku juga sering digituin. malah janjian jam 10 pg baru ketemu jam 3 sore. waduh... nahan lapar, aus, nahan jengkel juga pokoknya complicated dech. satu kuncinya: SABAR BOSSSS
semuanya ada waktunya koq. tetep semangat ya!!!