Kamis, Juni 26, 2008

s a m b a l

[bila Anda pernah baca Cala Ibi, novel debutan Nukila Amal, saya yakin Anda tak bakal kesulitan memahami catatan berikut ini]


Es jus alpukat, saya paling tak suka. Sama enegnya dengan skripsi. Tapi cinta kadang cumalah sekerat roti—kadang basi, sering malah jadi santapan semut sebelum sempat mendarati mulut. Tapi semut lebih disiplin dari para serdadu. Semut tak punya jendral tapi tertib dan tak satu pun desersi. Tapi alangkah mahalnya hidup ini hingga banyak orang tak sanggup membeli. Namun siapa berjualan getah: di nangka ia dibersihkan karena mulut hanya mau manisnya belaka, tak sudi getir dan kotornya. Tapi kau tentu bilang itu manusiawi. Lantas bagaimana dengan perang dan aborsi, juga eksploitasi? Wah, betapa kambing selalu punya nasib tragis; ia dicabik, disayat, dan disate—dipanggang dalam bara yang mengangah merah, lebih tragis dari cerita neraka.

Tapi siapa berharap bersua malaikat, ia akan sekarat. Sama halnya bila kau sedang duduk diadili dalam ujian skripsi. Tak ada jus jambu kesukaanmu, tak ada madu tuk menggenjot stamina batin dan hatimu. Tak ada cinta, malah. Yang ada cumalah rindu: ingin kau segera keluar enyah dari sana dan bergegas menuju kaki-lima memesan segelas es degan plus madu penyejuk kalbu.

Konon sel itu tak lebih menyiksa dibanding penjara manusia bernama bahasa. Bila kau pernah tonton sinema garapan Innaritu berjudul Babel, pasti kau paham pada maksudku. Manusia terkotak-kotak dalam bahasa beraneka rupa. Tapi yang tak kuasa berbahasa, si gadis Jepang yang bisu itu, masih dalam cerita film Babel, juga tak kalah menderita dibanding yang sanggup berwicara. Yang punya bahasa serupa pun tak menjamin dapat hidup bebas tanpa terpenjara. Buktinya, kita seringkali berseteru karena bahasa, karena bicara kitatermasuk akibat salah paham; salah dalam mencerna makna kata-kata lawan bicara.

Tapi saat ini ada yang lebih membuatku jengkel seribu empedu: skripsi yang seeneg buah durian. Mencium baunya pun dari kejauhan aku serasa mual, mau muntah. Tapi muntah kadang, atau sering malah, membawa berkah beruah-ruah. Karena dengan begitu kau bisa mengisi perutmu kembali dengan aneka kenikmatan duniawi. Ya, perut; kadang ia lebih rakus dari otak tapi tak lebih serakah dibanding mulut. Dan mulut, kita semua telah paham, ia menyemayamkan lidah di dalamnya; dan lidah itulah kerap menjalarkan api tragedi di dunia ini. Segala retorika dan ancaman tak akan lahir dari mulut yang tak berlidah. Dan lidah sendiri jadi liar karena ia memang tak bertulangtapi ia suka bawang.

Dan orang-orang sejagat raya saat ini juga sedang dibuat jengkel: oleh minyak! Minyak memang jadi berkah tapi juga musibah. Seorang nenek renta rela seharian berdiri di bawah terik mentari demi mengantri minyak. Amerika menggelar ratusan ribu serdadu dengan bajet puluhan miliar USD demi menguasai minyak. Tapi jutaan orang jadi sasaran empuk bujuk rerayuan iklan kosmetika karena malah ingin menghilangkan minyak (di parasnya). Asal tahu, sekarang minyak berdolar nyaris 140 per barelnya dan secepuk kosmetika pengusir minyak bernominal puluhan-ratusan ribu rupiah. Dan dunia ricuh karenanya, persis bila ada bau kentut di dalam ruang kelas tanpa seorang pun mengaku sebagai empunya. Ya, beginilah dunia pasar: selalu riuh selalu gaduh dan banyak orang mengaduh karena bangkrut hidupnyasemua karena bahasa.

Namun bila Anda pernah simak film Butterfly Effect, atau Anda pernah baca novel The Five Peoples You Meet in Heaven karya Mitch Albom, Anda akan tahu bahwa hidup adalah sebuah parade kejadian demi kejadian yang saling berikatan-berkaitan (istilah kerennya: jalinan koinsidensia). Bahwa setiap kejadian akan memiliki konsekuensi bagi terbitnya kejadian berikutnya; demikian berlangsung bak mata-rantai yang tanpa putus. Maka pesan yang saya tangkap darinya adalah: bahwa takdir itu bukanlah mitos adanya; ia nyata; dan jangan sesekali kita meratap-sesali segala yang telah terjadi bila tak ingin terjebak dalam infatuated imaginations seperti dialami si tokoh protagonis dalam kisah Butterfly Effect itu.

Ilmu pengetahuan, selidik Michel Foucault, selalu berjalin-kelindan dengan kekuasaan. Begitu pun wacana; ia dipelihara lewat kuasa dan dipigura bahasa. Kecurigaan serupa datang pula dari Jacques Derrida yang penuh semangat memukulkan martil Dekonstruksi bertubi-tubi. Dan hancurlah segalanya.

Tapi omong-kosong dengan teori bila kita wajib memeluknya erat-erat. Kita punya dua kaki. Kau tahu apa maksudnya? Agar kita bisa berpijak pada dua matra kehidupan: realitas dan idealitas. Bila kau hanya memijakkan dua kakimu pada salah satunya saja, kau akan celaka. Dan tahukah kau kenapa kita punya dua tangan, dua belahan otak, dua telinga, dan dua bola mata tapi hanya satu mulut? Agar kita lebih banyak berbuat, lebih banyak berpikir agar jadi bijak, lebih banyak mendengar agar jadi pintar, lebih banyak melihat untuk selalu belajar, dan agar kita tak banyak bicara. Itu saja.

Maka jangan menikmati sambal dengan rasio-nalar pikiran; jangan mengungkapkan kelezatannya lewat bahasa; nikmatilah semata dengan hati, sebagaimana kau menikmati cinta yang tentunya tak sebatas sekresi kimiawi di kalenjar-kalenjar neurotransmitter di dalam batok kepalamu. Dan kau tak perlu mengungkapkannya pada siapa pun juga lewat bahasa. Ungkapkan semata dengan hatimu; itulah sambal [?]

siang terik,

dalam kangen,

merindu wujud di dalam kalbu—kamu!

namun bila kau sangka aku lemah, kau salah.

aku menerjang karang menantang gelombang;

lebih baik berkalang tanah daripada kalah.

dan bila kau sangka aku bakal cemburu, kau keliru.

hatiku hanya rindu pada biru;

sedikit saja padamu!!!

yachh.. alangkah indah & kacaunya hidup…

bahkan kini,

saat pendulum berayun ke kiri,

ada nyeri di hati,

nyeri..

tapi aku tetap tersenyum;

terus tersenyum..

meski palsu,

walau semu,

tapi kunikmati,

kuhayati..

karena ku tak ingin kalah darimu;

tak ingin kau sangka lemah dan hendak nyerah..

namun aku telanjur padamu;

takkan mundur hingga belur dan lebur..

.

eagle flies confused..

……still free & alone……………….

2 komentar:

Anonim mengatakan...

coba nonton Pi deh.

Kristina Dian Safitry mengatakan...

puisinya indah.hiks...