Sabtu, Juli 19, 2008

Monologika Gila

Aku pandangi perempuan gila yang duduk di atas meja kaki-lima. Saat senjakala turun di kota. Kemarin. Ia seorang diri. Aku pun sendirian. Lihatlah wajahnya lusuh. Tubuhnya juga. Busana koyak-moyak. Seperti sehabis diperkosa. Tapi siapa tega memerkosa si gila. Kenapa pula si gila rela. Ough.. Lihatlah: dari selangkangannya mengalir darah merah. Tetapi pucat; tak segar. Menstruasikah ia. Tapi kenapa si gila juga punya haid. Ohh.. Apa sebenarnya hubungan tubuh dengan jiwa. Ketika jiwa telah gila, tak lagi punya kehendak napsu, kenapa tubuh tak ikut gila; tak ikut-ikutan menanggalkan kehendak; tak melepaskan keinginan meluruhkan darah kegagalan pembuahan. Kenapa tubuh masih waras, tak edan. Padahal jiwanya telah gila.

Ohh.. Lihatlah perempuan gila itu. Ia menyeringai. Tapi kepada siapa. Kepada benda-benda di depannya-kah. Ia tak menyadari darah merembes dari liang vaginanya. Ya. Kenapa vaginanya itu tak ikut-ikutan jadi gila. Kenapa masih meluruhkan darah menstruasi saat jiwa yang menubuh di dalamnya telah jadi gila; telah tak punya lagi kehendak.

Lalu di mana Tuhan. Di mana Tuhan. Tapi apakah Tuhan bagi si gila. Apa pulakah vagina bagi si gila. Apakah tubuh. Apakah ruh. Apakah dunia. Bagi si gila. Juga bagi kita semua. Ohh.. Sedang duduk di atas ArasyNya-kah Ia. Ikut-ikutan memandangi si gila-kah Ia. Astaga. Kenapa aku menganggapNya laiknya seorang penonton ataupun wasit dalam pertandingan olahraga. Takkah Ia hadir di mana-mana. Takkah Ia menyatu dengan segala ciptaanNya. Takkah Tuhan menubuh pada dunia. Sebentar! Jangan terburu menuduhku musrik. Aku tak bermaksud menyamarupakan Tuhan dengan benda, dengan dunia, dengan segala ciptaanNya. Tuhan tak sama dengan semua yang kita lihat. Ia bukan yang tertangkap indra dan kesadaran kita. Tuhan adalah Ketiadaan bila yang kita sebut “ada” adalah yang terjangkau panca indra dan kesadaran. Tapi Tuhan juga tak beristana di langit atau di surga. Ia tak memisahkan diri dari dunia. Ia menubuh pada dunia, pada segala ciptaanNya. Juga pada si perempuan gila itu. Juga pada vaginanya. Tapi Ia bukanlah si perempuan gila. Bukan pula vagina si gila. Oh. Kau menuduhku gila karena menistakan Tuhan dengan menganggapNya bersemayam dalam vagina. Tapi apakah vagina. Apakah selembar daun. Juga sebutir debu. Juga noda busuk. Takkah semua itu juga ciptaanNya. Lalu kenapa kau anggap hina vagina. Takkah pikiranmu sebenarnya yang kotor dan picik. Hingga kau tuduh aku menghina Tuhan.

Ohh.. Astaga.. Lihatlah! Buncahan daging di dada perempuan gila itu mengempis. Kenapa payudara itu melenyap. Dadanya kini rata. Ada apa ini. Lalu bagaimana dengan vaginanya. Ikut melenyapkah. Tapi apa arti payudara bagi ia yang gila. Apa pula arti vagina baginya. Apa arti vagina dan payudara bagi Tuhan. Apa pula artinya bagiNya bila keduanya telah tiada. Apakah manusia sebenarnya. Apakah pria. Apa pula itu wanita. Pria adalah berpenis. Wanita berpayudara dan bervagina. Hanya itukah. Lalu apakah dunia. Lalu bagaimana dengan perempuan gila itu. Tak wanita lagikah ia. Karena payudaranya telah lenyap. Juga mungkin vagina di balik busana lusuhnya. Tapi berganti peniskah vaginanya. Lalu apa artinya penis bagi si gila. Apa artinya menjadi lelaki baginya. Ketika jiwanya telah terbebas dari belenggu segala kehendak. Juga ketika ia telah terbebas dari napsu bermain kelamin dengan orang lain. Apa artinya penis atau vagina. Apa artinya menjadi lelaki atau wanita bagi si gila. Masih pentingkah itu semua. Lalu bagaimana dengan Tuhan sendiri.

Oh.. si gila itu kini berdiri. Ia bukan lagi perempuan gila. Mungkin pula bukan lelaki gila. Ia hanya manusia. Hanya si gila. Ia melangkahkan kaki. Menjauh. Menghilang dalam malam yang mulai turun. Dan aku.. Aku masih digelayuti peristiwa yang kulihat tadi. Pikiranku disergap tanya berkeping-keping..

19/07/’08

1 komentar:

Anonim mengatakan...

aduh yu,,, rada ga ngerti bacanya, huhehe..maklumlah,, saya sih awam,, mikirnya cetek,huehehe..

em, jadi,, kenapa ngebahas tititt orang gila yu? ehehe..