Minggu, Agustus 03, 2008

Buku [ + Kebebasan = Hidup ! ]

:. untuk para pecinta aksara dan kebebasan ekspresi


Karena buku dan kebebasan adalah darah dan nafasku..


Buku adalah sarana yang kepadanya kita belajar: kita mempelajari banyak hal-ikhwal kehidupan dari isi di dalamnya. Dengan begitu kita memperluas wawasan dan membangun pemahaman hidup. Bagi para cerdik-pandai yang menempuh jalan-jalan pengembaraan demi menggapai kebijaksanaan, buku yang paling utama (sebut saja: buku sejati) bukanlah lembaran-lembaran berisi barisan-barisan aksara yang disusun sedemikian rupa membentuk kata, kalimat, dan paragraf-paragraf. Buku sejati itu adalah alam semesta yang menampung totalitas kehidupan. Alam semesta adalah kitab pengetahuan yang paling komplit dan senantiasa membuka diri untuk dipelajari. Kepada buku sejati inilah mereka berusaha mempelajari segala hal-ikhwal kehidupan, karena, menurut mereka, aksara (baca: bahasa) takkan pernah sanggup menjadi perantara bagi kita untuk mempelajari kehidupan secara total. Aksara hanya menyajikan hal-ikhwal yang imanen (berada di permukaan semata) dan tak akan pernah menyentuh persoalan yang transenden (mendalam dan melampaui relitas inderawi).

Namun kebanyakan kita bukanlah jenis manusia cerdik-pandai yang mampu menggapai pengetahuan segala hal-ikhwal kehidupan dengan jalan belajar langsung kepada buku sejati itu. Bahkan untuk sekedar mempelajari hal-ikhwal yang imanen dari alam semesta ini secara langsung pun kebanyakan kita tak cukup mampu. Maka kita butuh buku dalam bentuk lembaran-lembaran di mana aksara disusun di atasnya oleh orang lain untuk menjelaskan penggalan-penggalan fenomena kehidupan (yang imanen) sejauh yang ia mampu pelajari dan jelaskan. Kepada buku jenis inilah kebanyakan kita mempelajari sebagian kecil hal-ikhwal kehidupan. Maka, dengan demikian, sesungguhnya kita mempelajari sebagian hal-ikhwal kehidupan (yang imanen) itu dari bingkai penglihatan dan pemikiran orang lain, yakni si penyusun aksara, dan bukan kepada sumber langsungnya: alam semesta. Ini berarti pengetahuan kita sesungguhnya hanyalah pengetahuan sekunder: pengetahuan yang diperoleh dengan meminjam dari pengetahuan orang lain – dengan segala motivasi, kekurangan, dan kepentingan di dalam diri orang tersebut, tentunya.

Demikian pula dengan diriku. Karena aku tak cukup mampu untuk belajar langsung kepada buku sejati, alam semesta itu, maka aku membutuhkan aksara-aksara yang disusun orang lain untuk mempelajari senoktah kecil hal-ikhwal kehidupan di dalamnya. Pun, dengan demikian, pengetahuan yang kudapatkan itu hanyalah pengetahuan sekunder; pengetahuan pinjaman.

Bagaimanapun juga, meski hanya sebuah sumber pengetahuan sekunder, aku menyintai buku dengan sepenuh hatiku. Aku cinta buku sebesar cintaku pada diriku; sebesar cintaku pada hidup dan kehidupan ini. Maka jumlah rupiah yang kubelanjakan setiap bulannya untuk buku acapkali selalu lebih besar dari yang kuhabiskan untuk makan dan jajan. Ini bukan berarti aku menelantarkan perut dan napsu makanku demi napsu pengetahuan. Namun lebih karena perutku memang tak pernah menuntut sebesar yang dituntut otakku. Sehari rata-rata aku hanya makan dua kali – bahkan kadang cuma sekali saja sudah kurasa cukup dan perutku tak menuntut lebih. Ini adalah indikasi napsu pengetahuanku jauh melampaui napsu makan dan napsu jajanku. Malah aku kadang bisa berpuasa (tak makan tetapi minum) seharian penuh namun aku tak pernah bisa untuk tak membaca buku bahkan dalam sehari saja (kecuali bila ada kesibukan lain yang tak memungkinkanku punya waktu bahkan untuk sekedar menyentuh buku, tentunya).

Aku menduga, kecintaanku pada dunia aksara yang telah tumbuh kukuh semenjak aku duduk di bangku Sekolah Dasar ini berakar pada kecenderungan pribadiku yang agak asosial. Sejak kecil aku memang kurang pandai bergaul. Teman-temanku terbatas di lingkungan sekolah dan masjid tempatku menimba ilmu agama plus anak-anak para tetangga di sekitar rumah tinggalku. Selain itu aku juga tak begitu suka bermain, kecuali bermain layang-layang di sawah dan mandi di kali saat masih kanak-kanak dulu. Maka sebagai kompensasinya aku melarikan diri pada aneka rupa bacaan. Semasa aku duduk di bangku Sekolah Dasar dulu bapakku, yang seorang pengajar di sebuah sekolah milik pemerintah, berlangganan majalah Kuncup (sebuah majalah anak-anak) untukku. Selain itu ia dulu juga berlangganan sebuah suratkabar dan beberapa macam majalah dewasa, dan, meski masih belum cukup umur, aku juga ikut-ikutan membaca suratkabar dan majalah-majalah itu. Bahkan aku kerap tenggelam ke dalam aneka macam bacaan hingga kesadaranku serasa lenyap – seperti orang yang mengalami trance oleh zat-zat sedatif yang ditenggaknya.

Namun kecenderungan ini membawa akibat yang bisa dibilang fatal pada diriku. Pengetahuanku jadi melampaui pengetahuan kawan-kawan sebayaku. Maklum aku tinggal di desa sehingga kebanyakan kawan sebayaku adalah anak petani atau buruh-tani yang umumnya jauh dari mengenal aneka rupa bacaan selain catatan dari guru dan buku bacaan di sekolah. Tragisnya kawan-kawan sebayaku itu umumnya juga tak suka baca. Maka saat berbicara dengan kawan-kawanku itulah, karena aku tak begitu pandai menempatkan diri dengan tepat, aku selalu mengumbar pembicaraanku pada soal-soal yang bersumber dari bacaan-bacaanku itu. Alhasil, kawan-kawanku pun pada bengong, tak paham pada hal-hal yang aku bicarakan; gak nyambung. Maka jadilah aku ibarat alien di tengah-tengah komuni anak manusia. Aku benar-benar merasa asing dengan mereka dan sebaliknya mereka juga merasa asing terhadapku. Dan lebih jauh lagi, karena efek keterasingan itu, aku makin suka menenggelamkan diri dalam aneka tema bacaan dan makin jarang bergaul. (Ini adalah semacam pelarian diri atas rasa keterasingan dan ketidakberdayaanku dalam bersosialisasi.) Perlahan tetapi pasti, kecenderungan asosialku makin menjadi-jadi. Aku seperti terperangkap dalam sebuah dunia yang samasekali berbeda dengan dunia kawan-kawan sebayaku; dunia imajiner teks aneka bahan bacaan; sebuah dunia di balik kaca, begitu mungkin perumpamaannya. Barangkali ini mirip nasib si kecil Simon dalam film Mercury Rising, atau nasib tokoh dalam syair tembang Glass Prison dan Solitary Shell milik Dream Theater, atau nasib Donna Williams seperti yang ia kisahkan dalam novel memoariknya, Nobody Nowhere. Fatal, bukan?

Balik ke soal kecintaanku pada buku. Ada satu hal yang menggembirakanku: kedua orangtuaku tak pernah segan-segan untuk mengucurkan rupiah demi rupiah kepadaku bila itu kumaksudkan untuk membeli buku. Ini amat kontras dengan sikap mereka berdua kepada adik lelakiku. Boleh dikata ibu-bapakku amat pelit bila adikku minta duit dalam jumlah besar untuk berburu kesenangan demi kesenangannya (yang sudah barang tentu bukan dalam bentuk buku, karena adikku fobia aksara alias anti buku atawa gak doyan baca).

Hal yang paling menyiksa terkait buku adalah apabila aku masuk ke toko buku untuk membeli satu-dua buku tanpa aku menetapkan sebelumnya buku apa yang hendak kubeli. Pokoknya asal aku ingin membeli buku maka aku datang berkunjung ke toko buku. Akibatnya di dalam toko buku itu aku pasti kebingungan menentukan buku apa yang musti kubeli karena di sana aku menemukan puluhan buku baru yang kesemuanya menarik dan inginnya kubawa pulang seluruhnya. Tapi tentu saja keinginan itu tak mungkin kuturuti karena jumlah rupiah yang ada di kantongku amat terbatas, hanya cukup untuk satu-dua buku saja. Alhasil, butuh waktu berjam-jam untuk menimbang buku mana yang paling perlu didahulukan untuk dibeli – selebihnya biar menjadi impian saja, atau akan kubeli di lain waktu bila sudah ada uang. Konyol, ‘kan?

Tapi sesungguhnya isi buku, atau kebanyakan isi buku, hanyalah reproduksi dari isi buku-buku lain, sebagaimana isi tulisan ini yang tak lain merupakan reproduksi dari isi beberapa tulisan lain, baik itu tulisan milik orang lain maupun tulisan-tulisan yang pernah kubuat sebelumnya – yang juga merupakan reproduksi dari tulisan-tulisan lain. Tak ada sebuah karya tulis, apa pun itu bentuknya, yang benar-benar orisinil. Tiap karya tulis senantiasa mengandung referensi, baik secara langsung (kutipan) maupun yang telah terekam secara lampau dalam memori otak – atau bahkan lebih jauh lagi berupa timbunan memori kolektif yang diwarisi secara turun-temurun sejak jaman purba (Archetype, dalam istilah Carl G. Jung) oleh – sang penulisnya. Maka Roland Barthes, seorang tokoh Post-Strukturalis Perancis, mendeklarasikan ”matinya sang penulis” dalam sebuah artikel pendeknya yang dipublikasikan pada 1968, The Death of The Author. Intinya: sumber otoritas teks bukanlah sang penulisnya, karena teks apa pun senantiasa berkaitan dengan – atau direproduksi dari – teks-teks lain. Tiap teks senantiasa berikatan membentuk mata-rantai atau jejaring imajiner dengan jutaan-miliaran teks lain yang ada di seluruh muka bumi. Maka, menurut Barthes, tiap teks bebas ditafsirkan dengan mencari keterkaitannya pada teks-teks lain. Dengan demikian, penulis tidak lagi ditempatkan sebagai sang penafsir tunggal atau orang yang paling paham dengan teks yang ditulisnya itu; maksud yang terkandung dalam sebuah teks tak bisa dimonopoli oleh sang penulis. ”Akibat sampingan” yang ekstrim dari pandangan Barthes ini adalah: apa yang disebut orang sebagai sebuah karya-pemikiran orisinil sesungguhnya adalah sebuah ilusi belaka karena setiap karya-pemikiran selalu dan akan selalu dipengaruhi dan atau berikatan-berkaitan dengan banyak karya-pemikiran orang lain. (Tentu tak semua orang bakal setuju dengan pandangan ini.)

Tapi bagaimanapun juga, biarpun sejatinya isi buku hanyalah reproduksi dari isi buku-buku lain, aku tetap suka dan cinta buku. Dan karena tiap-tiap buku, seperti disinggung dalam novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken karya bareng Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup, sesungguhnya membentuk jejaring atau mata-rantai imajiner dengan jutaan-miliaran buku lain di seluruh dunia, maka membaca sebuah buku akan menunjukkan kepadaku banyak buku lain yang belum pernah kubaca sebelumnya. Tiap pengetahuan baru yang kuperoleh dari sebuah buku akan menunjukkan kepadaku banyak hal lain yang belum kutahu di dalam buku-buku lain yang terkait. Begitu seterusnya rasa keingintahuan akan hal-hal baru itu beranak-pinak oleh tiap-tiap pengetahuan baru yang diusung oleh sebuah buku (selaiknya isotop Uranium-235 yang membelah secara sinambung dalam reaksi berantai di dalam reaktor nuklir). Dan dengan begitu aku senantiasa haus untuk memburu dan mendapatkan buku demi buku baru (untuk menebus rasa keingintahuan terhadap hal-hal baru itu). Dan, yang pasti, tanpa pernah aku suka membaca buku, akan amat muskil aku bisa menoreh tulisan demi tulisan yang sebagiannya kutempelkan di lembaran-lembaran ruang maya ini.

Buku, buku, dan buku..!

Begitulah. Aku menyukai buku setara besarnya dengan cintaku pada kebebasan dalam hidup ini. Aku selalu membaca buku di semua waktu luangku dan nyaris di segala tempat: di atas bus atau kereta dalam sebuah perjalanan, di terminal atau di stasiun sambil menunggu kedatangan bus atau kereta, di dapur sembari memasak, di ruang kuliah saat dosen asyik berkhotbah di depan kelas mendedahkan teori-teori, di atas kasur menjelang tidur, dan sebagainya. Membaca buku bagiku adalah sebuah kesenangan, setara dengan kesenangan berburu fesyen dan barang-barang baru bagi para shopping aholic alias penggila belanja. Bahkan bila hatiku sedang mendung alias sedih, buku adalah pengusir kedurjaan perasaan yang paling efektif dan efisien. Saat patah hati dan luruh asaku, sekedar berpikir untuk lari pada alkohol dan atau drug pun aku tak pernah; aku selalu lari pada buku. Berjam-jam kuhabiskan untuk mengembara menyusuri susunan aksara-aksara, beratus-ratus lembar halaman, hingga pedih dan serasa rabun mataku, hingga turun tensi kepedihan di hatiku. (hahaha.. kaciaannn dech aku..)

Buku paling kusukai? Di barisan depan tentu saja novel. Novel paling kugemari adalah genre Realisme-humanistik yang menggugah kesadaran dan perasaan, macam Laskar Pelangi-nya Hirata atau Kebangkitan-nya Tolstoi. Selain itu aku juga suka novel-novel spiritual – yang tak terbelenggu dalam formalisme tunggal agama, tentunya – seperti Shiddarta-nya Herman Hesse. Dan banyak lagi genre novel yang aku sukai dan tak bisa kusebut satu per satu di sini. Selanjutnya di barisan kedua dan seterusnya adalah buku-buku filsafat, psikologi, sejarah, budaya, ekonomi, sains dan teknologi, dan politik. Namun ada satu jenis buku yang paling tak kusukai, yakni buku agama yang hanya berkutat-bicara soal dosa-pahala, halal-haram, dan surga-neraka. Bagiku hidup bukan perkara dosa-pahala yang berujung pada neraka-surga dan bla bla bla… Hidup adalah kebebasan menggunakan kehendak dan pikiran (termasuk kebebasan berimajinasi) sebatas itu tak merugikan orang lain, tentu saja. Hidup adalah menyintai diri sendiri dan orang lain serta jagat kosmos seisinya, semampu kita tentunya. Begitulah.

Buku + kebebasan = hidup !

Tanpa buku, tanpa kebebasan, aku akan segan untuk hidup…[]

---------------


NB. Kau tak perlu menyangka adanya tendensi apa pun atas buku-buku yang kuserahkan padamu tempo hari kecuali bahwa karena kita sama-sama pecinta aksara dan penikmat buku. Dan terimakasih untuk semua pengertianmu: bahwa siapa pun berhak menyintai siapa pun, bahwa kau tak akan mengorbankan diri kepada siapa pun, bahwa kau tak akan pernah bosan walau kau bisa marah, bahwa kau senantiasa siap-sedia menadahi setiap tetes airmata dan luka yang mengucurkan perihku, dan semua kelembutan perasaanmu yang takkan mencadas bahkan oleh ketololan dan keangkuhan tersamar yang kuperbuat kepadamu tempo hari itu.


Mula Agustus 2008



9 komentar:

Anonim mengatakan...

buku =sumber inspirasi dan pelarian
makanya saya juga suka buku :)

Anonim mengatakan...

buku =sumber inspirasi dan pelarian
makanya saya juga suka buku :)

Anonim mengatakan...

Kenpa ya bagian NB selalu saja menjagi bagian menarik untuk dibaca? Di tulisan apapun...

Anonim mengatakan...

>cs: senang dapetin temen yg sama2 penggila buku :-)

>yudi: walah, kamu ono-ono wae yud. asal jangan cuma NB-nya aja lho yg dibaca, isin aku yud, kuwi lak cuman NB seng sok romantis wae,hehe..

maturnuwun kabeh ya..

[pito]

Anonim mengatakan...

Bung, membaca kata-katamu juga yang terakhir tok, NB iku, mestine buku yg kau hadiahkan Sayap-Sayap patah terjemahan Sapardi Joko Damono, kualitas terjemahannya terjamin, jadi isinya pasti nyampai, itu lebih cocok dengan kata-kata kesedihanmu itu.

Salam,Albert

espito mengatakan...

>albert: hahaha.. sayap-sayap payah?! ini sayapku masih utuh bung, blom pernah dpke terbang sekali pun.
thanks rekomendnya...

Unknown mengatakan...

buku tidaklah berarti apa2 tanpa keyakinan akan sebuah kebenaran..kebenaran itu datangnya dari Alloh SWT

Unknown mengatakan...

manusia akan selalu diuji dengan sepi, susah, kurang dan bahagia..hati ini berkata bahwa momen yang terbaik adalah saat kita tidak berdaya di mana hanya Alloh SWT lah yang paling penting bagi kita..jawabnya taubat dan hati penuh harap dan cemas itu kita persembahkan kepada pencipta dan pengatur manusia..siapa lagi??

Anonim mengatakan...

ya setuju.. Tp betapa tak mudah menuju yg anda maksudkan itu.. seringkali kita mengumbar amarah dgn menyebut namaNya.. betapa rumit hidup ini - samasekali TAK HITAM-PUTIH!!!

betapa LEBIH MUDAH BICARA DAN BERETORIKA DARIPADA BERBUAT SESUAI DGN APA YG KITA UMBAR DAN OBRAL DARI LISAN KITA..

thanks..

[pito]