Senin, Agustus 11, 2008

Kuli (tragedi anak-anak negeri)


Sungguh mengerikan nasib sebuah bangsa dengan kekayaan alam melimpah- ruah di tanahnya namun harus mengais sisa-sisa makan bangsa jiran, dan mengemis kepeng-kepeng dollar kepada para penjajah dan penjarah”


Lelaki bernama Pairan itu masih nampak giat mencangkuli sawah, membolak-balik tanah sejengkal demi sejengkal, padahal matahari sudah tepat di atas kepala. Peluh membasahi wajahnya yang hitam dan juga seluruh tubuhnya yang berbalut kaos dan celana lusuh, robek di sana-sini pertanda dimakan usia dan sering dipakai oleh tubuh yang keras bekerja. Sawah itu bukanlah miliknya, tapi milik seorang petani kaya di desanya yang juga masih tetangganya, Haji Hamim. Pairan hanya seorang buruhtani—kuli sawah. Hari ini, ia bersama beberapa orang rekannya dipekerjakan Haji Hamim untuk mencangkul tanah persawahannya sebelum ditanami bibit jagung. Tapi siang ini Pairan hanya seorang diri, rekan-rekannya telah pulang sejam lalu untuk tetirah siang sebelum kembali lagi ke sawah selepas waktu dzuhur nanti. Ia sengaja tak pulang, begitulah kebiasaannya setiapkali mengerjakan tugasnya sebagai buruhtani. Sehari penuh ia berada di sawah, berangkat pagi-buta dan pulang petang-hari. Ia tak mengambil waktu tetirah siangnya untuk pulang ke rumah. Pairan tak punya siapa-siapa lagi untuk dijumpainya di rumah. Karena itu, ia tak ingin pulang; ia tetap melanjutkan pekerjaannya siang ini.

* * *

Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli. Semenjak kecil, ia telah menjadi kuli, kuli-sawah. Ia tak sempat enyam pendidikan di bangku sekolah barang secuil pun. Semenjak kanak-kanak ia sudah terjun ke dunia kerja yang keras, menjadi buruhtani. Ia berasal dari keluarga miskin di pelosok desa, dan hanya sawahlah yang menghidupi keluarganya, juga dirinya—sebagai buruhtani. Kini, di usianya yang telah kepala-empat, ia tetap menjadi kuli, kuli-sawah. Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli: kuli sawah—buruhtani.

Lima tahun silam, Pairan punya tekad untuk merubah nasib diri dan keluarganya. Sebagai kepala keluarga, ia merasa wajib dan bertanggungjawab untuk melepaskan jerat kemiskinan yang melilit ia sekeluarga. Pekerjaan sebagai buruhtani yang ia dan istrinya jalani selama ini samasekali tak menjanjikan perubahan menuju nasib yang lebih baik. Sebaliknya, dari hari ke hari nasib malah membikin ia sekeluarga kian terpuruk. Upah sebagai buruhtani yang hanya sepuluh ribu rupiah per hari samasekali tak bisa memberikan sisa untuk keperluan lain selain makan, bahkan semakin tak mencukupi bila harga bahan-bahan pokok tiba-tiba melambung naik tanpa pernah turun kembali.

Maka ia pun bertekad berangkat ke negeri jiran, Malaysia, demi mengadu nasib, mendulang untung. Bersama seorang rekannya, ia mendaftar ke sebuah perusahaan penyalur tenagakerja ke luar negeri, lewat seorang calo. Ongkos yang ia setorkan ke perusahaan itu, lewat perantara si calo, sejumlah empat juta rupiah. Jumlah sebesar itu konon untuk biaya mengurus segala persyaratan, mulai paspor dan visa hingga ongkos transportasi. Diperolehnya uang sebesar itu dari berhutang ke beberapa sanak-saudara. Ia kumpulkan sedikit demi sedikit pinjaman dari mereka hingga terkumpullah nominal empat juta rupiah itu. Dan kemudian berangkatlah ia dan rekannya itu ke negeri jiran dengan harapan sebesar gunung. Ia bayangkan, kelak ia akan berhasil memutar roda nasib, tak lagi menjadi kuli-sawah tapi menjadi wiraswasta dengan modal besar yang akan ia kumpulkan di negeri jiran. Ia tinggalkan istri dan dua anak lelakinya dengan raut muka penuh ceria, seolah-olah ia telah genggam kemenangan di tangannya.

Tapi nasib baik rupanya tak hendak datang kepadanya. Baru dua hari menginjakkan kaki di negeri jiran, ia digelandang aparat RELA yang melakukan operasi penertiban tenagakerja asing. Ia tak pernah sangka, dokumen-dokumennya ternyata palsu. Pairan dan rekannya telah ditipu mentah-mentah oleh calo dan perusahaan PJTKI gadungan itu.

Maka, sebagai hukuman bagi “pendatang haram” seperti dirinya, ia pun divonis hukuman penjara selama enam bulan ditambah hukuman cambuk. Pemerintah Malaysia memang tak sudi berkompromi dengan para pendatang ilegal yang dianggap telah merusak stabilitas sosial dan melecehkan wibawa hukum nasional mereka, tentunya di samping merugikan keuangan negara karena pekerja ilegal—sudah barang tentu—tak terkena permit. Pairan dan rekan-rekannya sesama pendatang ilegal itu kini harus menerima ganjaran dari Pemerintah Malaysia.

Namun baru dua bulan berselang ia menjalani hukuman kurungan, datanglah sebuah surat dari pihak berwajib untuknya. Isi surat itu: ia dibebaskan dengan jaminan. Rupanya ada seorang toke yang membebaskan dirinya dengan sejumlah uang tebusan. Selain Pairan, ada sembilan tahanan lainnya yang waktu itu juga dibebaskan oleh toke yang sama.

Keluguan yang bersemayam di dalam dirinya membuat Pairan samasekali tak menyangka adanya udang di balik batu yang menyertai hari kebebasannya itu. Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya, bahwa sekeluar dari “mulut singa” ia akan masuk ke “mulut buaya”. Pairan terlampau lugu, polos, tak mengenyam secuil pun pendidikan sekolah. Ia adalah kuli, kuli sejati.

Maka, sekeluar dari penjara, ia dan sembilan rekannya itu dipekerjakan oleh sang toke di sebuah proyek bangunan miliknya di pinggiran Kuala Lumpur. Di sana ia menjadi kuli—kuli bangunan, bukan kuli sawah seperti dulu. Ia bekerja dari pagi hingga sore, bahkan kerapkali harus kerja lembur di malam hari. Upah yang dijanjikan oleh sang juragan sebesar seribu ringgit per bulan plus uang lembur sebesar dua-tiga kali lipat gaji. Namun kenyataannya, upah yang ia dan rekan-rekannya terima dari tangan sang juragan tak lebih tigaratus ringgit, diberikan sebesar tujuhpuluh lima ringgit tiap akhir pekan. Uang itu ia pergunakan untuk makan dan membeli kebutuhan sehari-hari, nyaris tak bersisa. Sisa upah sebesar tujuhratus ringgit ditambah upah lembur dijanjikan akan diberikan nanti setelah proyek selesai.

Hampir setahun lamanya Pairan bersama sembilan rekannya bekerja sebagai kuli bangunan di proyek itu, dan proyek itu telah nyaris rampung. Namun tiba-tiba, di suatu malam, datanglah aparat RELA menggerebek tangsi tempat ia dan rekan-rekannya tinggal di lokasi proyek itu. Pairan dan rekan-rekannya tak berkutik karena selama bekerja di proyek itu, ia dan rekan-rekannya tetap tak mengantongi dokumen resmi, tetap ilegal. Ia pun kembali digelandang masuk penjara bersama rekan-rekannya. Kembali ia harus menjadi pesakitan, meringkuk dalam sel tahanan dan siap-siap menerima hukuman cambuk dari Pemerintah Malaysia.

Hari-hari berasa melambat bagi Pairan. Hidupnya seolah-olah berada dalam liang kutukan. Samasekali tak ia sangka bahwa niatnya mendulang untung di negeri jiran tak ubahnya bermain judi. Ia tak sangka, bahwa calo yang selama ini ia kenal baik sebagai rekan ngobrol di warung kopi itu ternyata adalah seorang penipu ulung yang tega memakan daging temannya sendiri. Maka, dengan keluguan dan kesumat dendam di dalam dadanya, ia bersumpah akan membalaskan tragedi ini pada si biang keladi: calo keparat itu.

Sebulan berlalu hidup sebagai pesakitan di dalam tahanan, kembali ia menerima surat pembebasan. Bersama duabelas orang lainnya, ia dibebaskan dengan uang tebusan oleh seorang toke yang punya usaha perkebunan kelapa sawit. Sekali pengalamannya terdahulu, telah membuatnya bisa menebak apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia yakin, kini akan kembali ia masuki “mulut buaya”, persis seperti dulu lagi. Namun begitu, ia tak menyimpan daya apa-apa untuk melarikan diri dari “lingkaran setan” ini. Mau tak mau ia harus kembali menjalani kerja rodi di negeri orang. Tak bisa tidak. Baginya, ini sudah lebih baik bila dibandingkan harus meringkuk di dalam penjara. Lebih baik menghirup udara bebas walaupun harus menjalani “kerja-paksa” daripada harus menjadi pesakitan di dalam tahanan. Ia yakinkan diri sendiri, bahwa hidup seringkali harus memilih yang buruk di antara yang buruk-buruk.

Maka ia jalani hari-harinya kini sebagai kuli di perkebunan sawit milik si toke yang telah membebaskannya dengan uang tebusan itu. Dijanjikan kepadanya upah delapanratus ringgit per bulan. Tapi sudah ia tebak sebelumnya, yang ia terima tak lebih dari setengahnya. Sisanya konon akan diberikan menjelang kontrak kerja-nya habis. Kini ia kembali menjadi kuli—kuli perkebunan sawit, bukan kuli bangunan ataupun kuli sawah seperti dulu lagi.

Hampir satu setengah tahun Pairan menjalani kerja sebagai kuli perkebunan sawit. Kontrak kerja selama satu setengah tahun yang ia dan rekan-rekannya sepakati dengan sang majikan tinggal bersisa tiga bulan lagi. Namun pengalaman pertama yang telah membuatnya paham betul bagaimana permainan tercela pihak-pihak di Malaysia terhadap para pendatang ilegal seperti dirinya, membuat ia tak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Maka dengan uang yang setahun lebih ia kumpulkan dengan susah payah, dengan menyisakan sepersekian dari “upah semu” yang ia terima setiap bulannya, ia pun bertekad melarikan diri dari tempat kerjanya itu. Ia bertekad untuk pulang, sebelum terlambat, sebelum datang aparat keamanan Malaysia untuk kembali menjebloskannya ke dalam penjara.

Suatu hari saat tengah malam, Pairan bergegas pergi meninggalkan kamp para pekerja perkebunan sawit yang ada di negara bagian Serawak itu. Ia mengambil jalur darat dengan melewati hutan-hutan dan melintas tapal-batas Malaysia-Indonesia melalui jalan tikus. Berhari-hari ia tempuhi jalan-jalan di tengah hutan hingga tiga hari kemudian sampailah ia di sebuah kota kecil di Propinsi Kalimantan Barat. Lega kini hatinya. Ia telah lolos sepenuhnya dari ancaman hukuman Pemerintah Malaysia yang selama ini senantiasa mengintainya. Dari kota itu, selanjutnya ia naik angkutan untuk meneruskan perjalanan menuju kampung halamannya di Pulau Jawa.

Tapi inilah sesungguhnya puncak derita yang menderanya selama ini: Sesampainya di rumah, perasaan rindu pada anak-istri yang sekian tahun ia pendam dalam-dalam di antara derita yang menderanya di negeri orang, seketika lenyap tanpa sisa. Harapan untuk bertemu keluarga yang sekian lama ia tinggalkan tanpa pernah saling berkirim kabar, kini porak-poranda laiknya kota-kota di Aceh yang dihantam tsunami. Ia dapati rumahnya tak lagi dihuni anak-istrinya. Rumah itu telah dijual enam bulan lalu. Ia dapati kabar dari beberapa tetangga: istrinya minggat bersama si calo yang dulu membuangnya ke negeri jiran, sementara dua anaknya merantau ke Jakarta. Seketika itu pula, langit di atas kepalanya serasa runtuh menimpanya. Hatinya remuk redam. Ia tak sangka, bahwa nasib buruk datang berantai-rantai, melilit-lilit hidupnya tanpa ampun.

* * *

Semenjak saat itu, hidup Pairan bermuram durja. Ia samasekali tak ingin mencari di mana gerangan istrinya berada. “Istri yang tak setia menunggu, tak layak untuk dipertahankan,” ia bergumam dalam hati, “biarlah ia hilang ditelan bumi. Sedikit pun aku tak sudi mencarinya. Biar ia pertanggungjawabkan semua ini kepada Yang Di Atas, karena Dia yang paling berhak menjadi Hakim bagi segala perkara manusia. Dialah Hakim yang seadil-adilnya, yang tiada sebiji zarah pun perkara manusia terluput dari Timbangan-Nya.”

Kini, ia tinggal seorang diri di sebuah gubug kecil di tepian sungai yang membelah desanya. Ia berjanji tak akan pernah kawin lagi. Hatinya telah hancur oleh penghianatan istrinya. Dan satu-satunya harapan yang masih tersisa di dalam dirinya adalah kedua anak lelakinya yang merantau ke Jakarta, dan hingga kini tak kunjung datang kabar-beritanya.

Kini, seperti dahulu lagi, Pairan kembali menjadi buruhtani, menjadi kuli-sawah. Ia mengabdikan sepenuh-hidupnya pada kehidupan bercocok-tanam, di sawah milik Haji Hamim, juragan yang dengan setia mempekerjakannya. Pairan dengan tekun mencangkul tanah, menyemai benih, menyiangi rumput, menabur pupuk, mengairi sawah, dan memetik hasil panen di sawah milik Haji Hamim itu. Haji Hamim terharu melihat ketekunan dan sekaligus nestapa yang bersemayam dalam diri Pairan. [ ]


Tepi Kali Bedadung, 20 Maret 2008

-----------------------------

Catatan:

aparat RELA : pasukan sipil yang direkrut pemerintah Malaysia untuk melakukan razia terhadap pendatang ilegal dan operasi yustisia lainnya di negeri itu.

permit : semacam pajak pendapatan yang dikenakan kepada pekerja asing.

toke : sebutan bagi pengusaha Malaysia keturunan China yang menjadi juragan para tenaga kerja asing di negeri itu.

jalan-tikus : sebutan bagi jalan setapak di tengah hutan Kalimantan di tapal-batas Indonesia-Malaysia yang biasa digunakan para tenaga kerja Indonesia untuk keluar-masuk Malaysia secara ilegal.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

pertamax!!!!!!


hmmm miris dengernya, tapi itulah yang ada dipelupuk mata dan paling tangible. kalo nunggu kebijaksanaan pemerintah mungkin saja akan mati, bosan menunggu :)