Kamis, Agustus 14, 2008

Kematian Sebuah Blog


hidup yang dipertaruhkan dan tak dimenangkan..

Saya mengenalnya sekira dua warsa silam. Sebuah blog yang menampung banyak catatan yang ditutur-ceritakan dengan gaya bahasa yang landai, tenang, dan melankolik. Pertama kali saya menjejakkan kaki di sebuah daratan maya itu dalam sebuah penelusuran iseng lewat mesin pencari Google. Entah lupa apa kata-kunci yang kuketikkan kala itu. Yang terang, seingatku, saat itu saya terdampar di atas sebuah catatan berjudul Guru yang Membuka Tirai Tuhan (I) dengan subjudul persis di bawahnya, Ketidakhadiran yang "Hadir". Terkesima oleh judulnya, lebih-lebih lagi oleh subjudulnya, saya pun menyimak dengan khusuk catatan yang tak terlampau panjang itu. Baiklah, saya coba tuturkan sekilas isi catatan yang nampaknya masih membekas jelas dalam memori otakku itu.

Catatan itu bercerita tentang seorang ksatria anonim yang melamar untuk jadi murid Resi Durna, sang mahaguru Pandawa dan Kurawa dalam epos Mahabharata, guna menimba ilmu memanah kepadanya. Namun rupanya Durna tak mengabulkan permohonannya. Ditampik oleh sang resi ternyata tak membuat si ksatria anonim itu patah arang. Ia pun pulang dengan hati yang mendung. Tapi sesampainya di rumah, si ksatria satu ini tak kurang siasat. Daripada berpaling untuk mencari guru memanah lain, ia lebih memilih menghadirkan ’bayangan’ Durna. Ia pun lantas membikin sebuah boneka menyerupai sang resi. Merasa diawasi oleh boneka replika Durna itu (atau tersugesti oleh ”kehadiran” sosok Durna, begitu mungkin persisnya), ia pun berlatih dengan keras dan serius. Konon kabarnya, masih dalam catatan itu, pada akhirnya si ksatria anonim tersebut sanggup menyamai kemahiran memanah murid-murid Durna. Begitulah mungkin rangkaian kisah yang dimaksudkan penulisnya sebagai ketidakhadiran (Durna) yang ”hadir” (replika Durna). Atau sebetulnya bisa pula dibalik menjadi: ”kehadiran” (dari) yang tak hadir -- ”presence” of the absence. (Saya pernah memakai istilah ”presence” of the absence ini untuk melukiskan seorang perempuan yang pernah saya akrabi di bangku SD dan beberapa warsa silam kembali ’muncul dalam benakku’ untuk beberapa saat lamanya hingga ia diambil jadi istri oleh seorang lelaki yang merupakan teman kuliahnya, sewarsa silam. Saya [di]kalah[kan] lewat sebuah ’lemparan dadu’ bernama ”takdir”, ha ha ha..)

Ya, betul. Blog yang kumaksudkan itu tak lain beralamat di pejalanjauh.blogspot.com. Saya tak mengenal secara pribadi sang empu blog itu. Namun demikian saya rajin menyimak catatan-catatannya. Telah puluhan catatannya kubacai. Belakangan hari rupanya sang empu meng-upgrade blognya sehingga alamatnya menjadi lebih cekak: pejalanjauh.com. Selain catatan-catatan yang kaya wawasan dan dituturkan dengan indah hingga melenakan saya yang menyimaknya, ada satu hal lain yang membuat saya jatuh hati padanya, yakni sebuah parafrase yang melekat pada kop-gambar (header image) di bagian atas tubuh blog: ”hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan.” Bagiku sepenggal kalimat itu sungguh sarat dengan pesan keberanian – atau mungkin malah ke(n/t)ekadan – dalam/untuk menghadapi hidup ini. Menggetarkan dan sekaligus menggentarkan, tentu saja.

Belakangan hari, dari sebuah catatan yang berjudul ”Dancing Out”, saya tahu bahwa sang empu blog itu pernah menimba ilmu di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada. Dalam catatan itu ia mengaku mengundurkan diri sebagai mahasiswa (ia menyebutnya dengan istilah ”Dancing Out” untuk membedakannya dengan Drop Out – karena ia memang undur diri dan bukannya didepak keluar oleh pihak kampus) justru ketika telah melewati masa studinya selama duabelas semester dan telah merampungkan penggarapan skripsinya! Entah, ia ingin benar-benar mempertaruhkan hidupnya, barangkali.

Dan sekira satu bulan silam, ketika mengetikkan alamat pejalanjauh.com dan kemudian menekan tombol ”enter” di papan kibor, browser komputer di hadapanku saat itu malah menggiring penjelajahan mayaku pada sebuah alamat yang agak ganjil: requiem.com. Tapi alamat terakhir itu tak menampilkan apa pun selain baris-baris kata cekak satu halaman ciut/sempit dalam Bahasa Inggris yang samasekali tak menampakkan tanda-tanda diri sebagai sebuah blog atau website yang ”hidup”. Saat coba kutelusuri hingga lebih separuh jam lamanya, aku tak menemukan apa pun, nihil, dan penelusuranku akhirnya malah dilemparkan begitu saja ke halaman Sign in (halaman muka) blogger.com. Sejurus kemudian saya tahu dari sebuah catatan milik seseorang yang nampaknya adalah kawan si empu blog, yakni seorang blogger yang menyebut dirinya ”lelaki pelabuhan”, bahwa pejalanjauh.com memang telah mati (atau dimatikan, tepatnya). Kalau benar demikian, nampaknya requiem.com tadi memang bukanlah sebuah blog atau website ”hidup” melainkan lebih mirip – atau lebih layak digelari – sebuah pekuburan; sebuah tempat pemakaman bagi tubuh-tubuh blog yang telah jadi mayat.

Tanpa kukehendaki, ada rasa sungkawa dan kecewa di dalam diriku atas kematian sebuah blog yang selama ini kerap kukunjungi karena keindahan dan segenap daya tarik isi catatan-catatan yang ditampungnya itu. Blog itu kini telah musnah! Kenapa ia harus dibunuh oleh sang empu? (Atau lebih tepatnya: kenapa sang empu sampai tega hati menghabisinya?). Bila ia sudah tiada punya senggang untuk menoreh catatan baru, kenapa tak ia biarkan saja tubuh blognya itu tetap hidup sehingga siapa pun yang pernah menikmatinya bisa kembali mendatanginya untuk mencecapi ulang torehan catatan-catatan di sekujurnya kelak di kemudian hari nanti (dan sekaligus memberi kesempatan kepada para peselancar samudera maya lainnya untuk mampir, mengenalnya, menjatuhcintainya, dan menikmati segenap pesonanya)?

Uh, kejam nian sang empu! Ia telah mengkhianati para penikmat setia blognya.

Hidup yang (telah) dipertaruhkan dan (ternyata) tak dimenangkan. Ya, ia telah (di)kalah(kan) – oleh ’takdir’nya…[]

13/08/2008




2 komentar:

Anonim mengatakan...

iya, saya juga sering mampir kesana. dan sekarang hilang

espito mengatakan...

ke mana ya si empunya? syg bgt qta sama2 gak tau..