Minggu, Agustus 17, 2008

Narsisme vs Altruisme

Cinta terhadap diri sendiri pernah dianggap sebagai semacam penyakit sampar. Sebabnya, menyintai diri sendiri diartikan paralel dengan ketiadaan cinta bagi orang lain. Maka menyintai diri sendiri adalah sebuah dosa; sikap cinta-diri dipandang sebagai ancaman mematikan bagi eksistensi sebuah sosialitas. Masyarakat pun kemudian dibangun dengan sebuah indoktrinasi ketat “pelenyapan cinta-diri” atas nama “kepentingan khalayak”. Dikotomi antara “cinta-diri” dan “cinta terhadap orang lain”, di mana keduanya selanjutnya dipahami sebagai dua hal yang berhadap-hadapan secara ekstrim, telah sering menghasilkan “pelenyapan individu”. Keunikan individu musti dikuburkan demi menciptakan masyarakat yang seragam dan sepaham, serta “tertib” tentu saja. Sebuah sistem sosial (seringkali dalam wujud negara) yang fasistis adalah sebuah contoh gamblang tentang pelenyapan individu atas nama kepentingan umum. Kepentingan individu harus siap-sedia untuk ditempatkan di altar pengorbanan bagi kepentingan sosial/negara. Tapi tak perlu jauh-jauh kiranya untuk menemukan contoh dari doktrin pelenyapan individu atas nama kepentingan umum ini. Ada sebuah contoh yang lebih gamblang: Sikap represif orangtua terhadap anak-anaknya bila sang anak dianggap berprilaku menyimpang dari norma-norma masyarakatnya (dan juga represi masyarakat terhadap para anggotanya yang dianggap menyimpang). Ya, semua itu tentu juga acapkali diklaim dilandasi oleh rasa cinta kepada sang anak. Tentu para orangtua menginginkan anak-anaknya tumbuh sebagai pribadi yang selaras dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sejak kecil kita telah diarahkan untuk tunduk pada aturan-aturan sosial – seringkali dengan mengorbankan kehendak dan kepentingan kita. Mengutamakan dan mengejar kepentingan diri sendiri adalah sebuah kejahatan karena ia dianggap akan mengorbankan kepentingan umum – yang pada tahap lanjut akan mengakibatkan disharmoni dan anarki di dalam masyarakat.

Bila diajukan pilihan antara mendahulukan kepentingan sendiri ataukah mengutamakan kepentingan orang lain, tentu tiap-tiap orang akan memiliki jawaban berbeda. Tiap orang punya alasan dan motivasinya masing-masing dalam pilihan sikapnya. Tapi benarkah cinta-diri itu sesungguhnya berhadapan secara diametral dengan cinta kepada orang lain? Perlu dibedakan kiranya antara “cinta-diri” dan “cinta-diri yang ekstrim”.

Cinta-diri yang ekstrim (narsisme) kiranya benar bila dianggap sebagai semacam wabah sampar. Narsisme, sependapat Erich Fromm, adalah sebuah tanda ketakmampuan menyintai orang lain sehingga seluruh energi hidupnya dicurah-tumpahkan pada diri sendiri semata. Tapi cinta yang hanya mengalir ke dalam diri sendiri, masih kata Fromm, sesungguhnya ia bukanlah cinta – karena cinta selalu hadir untuk diri sendiri dan orang lain secara simultan. Ini berarti, narsisme bukanlah sebuah pertanda melimpahnya cinta bagi diri sendiri; sebaliknya ia justru merupakan sebuah patologi bukan hanya bagi masyarakat tapi terutama adalah bagi diri sendiri; ia adalah cinta semu – atau rasa benci yang dimanipulasi menjadi serupa rasa cinta. Kesanggupan untuk menyintai diri sendiri akan senantiasa paralel dengan kemampuan untuk menyintai orang lain. Maka menjadi kurang tepat apabila cinta-diri diposisikan secara diametral dan frontal dengan cinta terhadap orang lain (altruisme). Narsisme-lah yang sesungguhnya berhadapan secara frontal dengan altruisme.

Tapi bila ditelisik lebih dalam, altruisme juga belum tentu lebih baik daripada narsisme. Nietzsche, kalau ingatan saya tak silap, pernah mengatakan, ”ada yang pergi ke sesamanya karena ingin mencari dirinya sendiri, ada pula yang karena merasa senang hati kehilangan dirinya.” Ini berarti, altruisme itu hanya akan menjadi sebuah laku mulia bila ia dilandasi oleh melimpahnya cinta di dalam diri – atau atas dasar pencarian cinta dan kebahagiaan yang lebih tinggi (bukan keuntungan materi) bagi diri sendiri. Sebaliknya, bila dilakukan atas dasar ketidakmampuan menyintai diri sendiri, altruisme justru menjadi sebuah laku yang boleh dikata menjijikkan. Ia cenderung mirip dengan sikap masokistis di mana orang akan merasa puas saat dirinya menjadi korban bagi perilaku sadistis orang lain. Altruisme jenis ini mungkin juga tidak memadai untuk didefinisikan sebagai menyintai orang lain, karena ketiadaan cinta pada diri sendiri sudah tentu paralel dengan ketiadaan cinta bagi orang lain. Bahkan ia paralel dengan narsisme itu sendiri; bedanya hanya pada objeknya – narsisme mengarah ke dalam diri sendiri sementara altruisme jenis ini menemukan objeknya pada orang lain. Maka, hanya orang yang sanggup menyintai diri sendirilah kiranya yang punya kemampuan untuk menyintai sesamanya – dan orang lain yang dicintainya diperlakukan sejajar sebagai subjek, bukan objek.

Cukup rumit, bukan?

..

NB. Selamat Hari Jadi ke-63, Indonesiaku..


6 komentar:

Anonim mengatakan...

tak masalah mau narsis mau altruis, yang penting mau berbuat baik pada orang lain.

saya akui saya narsis. soalnya saya bikin blog dan saya pengen orang lain datang ke blog saya dan menanggapi tulisan saya :)

salam

wendra wijaya mengatakan...

Sepakat ama Senja..

espito mengatakan...

hahaha.. tapi apakah bikin blog dan mengundang org lain utk mengunjunginya juga bisa dikatakan narsis? wah, kalo gitu saya jg narsis dong.. tapi bukankah sebenarnya org ngeblog itu buat nyari temen bwt curhat, diskusi, dsb di ruang maya?? tapi mgkin mmg ada dikit2 unsur narsismenya, misal: buat pamer diri dgn memajang foto dlm brbagai pose yg seolah coverboy/girl.

ya udah, thanks..

Anonim mengatakan...

hmmmm,,,hidup narciss :D
narcism is not a crime ^_*
yang penting tahu sejauh mana menempatkan ke-narciss-an itu. karena segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik.
dan,,,(seperti kata senja) yang penting kita berbuat baik pada orang lain :)

Anonim mengatakan...

postngan ini mirip sekali dg tulisan si pejalan jauh. temanya sama, tokoh2 yg dikutip jg sama. semangatnya jg sama. maaf kalo saya salah.

espito mengatakan...

>nandien: hehe.. ya deh drpd rumit2 bikin kategorisasi yg kaku, mending kayak kamu aja deh.. thanks..

>anonim: ya, betul. mirip, bukan persis. semacam reproduksi tapi samasekali bukan plagiasi. ada beberapa perbedaan. di antaranya: PJ ngutip Fromm dan Kant, sementara saya ngutip Fromm sama Nietzsche. contoh kasus yang kami angkat juga beda, tema si PJ adlh Philautia dan bukan Narsisme-Altruisme. Thanks..