Kamis, November 13, 2008

elegi sunyi

Selalu saja ada yang menggelegak di dalam benak, bahkan di kala malam telah beringsut menyambut pagi sekalipun. Dan tentunya diri tak kuasa untuk terlelap dengan lekas meski kelopak mata bergelayutan lelah dan tubuh telah merebah di atas pembaringan. Terlebih bila mendapati seluruh orang di sekitar telah melelap diri menyelami mimpi, makin nelangsa saja rasanya diri ini. Kau bayangkan, betapa getir rasanya hidup bila hanya suara jangkerik yang merasuki telingamu, di setiap larutmalammu.


Ada yang tak henti berkecamuk dalam pikiran. Seolah hidup yang dijalani seharian, dari pagi hingga malam yang pekat, tak lekas tuntas. Selalu saja ada yang tak selesai dalam hari-harinya, dan menyisakan beban menggumpal yang menyumpal saraf-saraf otaknya. Memang, senantiasa ada yang tak selesai dalam hidup tiap orang. Tapi tiap-tiap kita selalu butuh jeda untuk sekedar mengendurkan hidup masing-masing yang menegang oleh beban keseharian. Tidur, bagi tiap makhluk bernyawa, sama berharganya dengan mengasup kalori dari kegiatan makan. Dan dalam tidur, orang menemukan jeda sekaligus momen indah menyelam dalam alam bawah-sadarnya.


Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam—kata sepenggal sajak Prajurit Jaga Malam ciptaan Chairil Anwar.


Diri bukan seorang “prajurit jaga malam”. Tapi bahkan si “prajurit jaga malam” agaknya akan bersua pula dengan titik kejenuhan di saat suatu hal telah menjelma rutinitas yang ajek, terlebih bila itu dilakoninya seorang diri dalam kelam malam, tanpa teman bercengkrama mengurai cerita, ataupun sekedar bermain domino dan catur (dalam satu sisinya, hidup bisa jadi memang tak ubahnya permainan domino dan catur; selalu bertautan, dan selalu bersua momen “skak”—juga “skakmat” yang mengakhiri kisahnya).


Tapi tidakkah hidup sejatinya memang sebuah laku kesunyian. Tak peduli seberapa pun dekat hubungan kita dengan orangtua, handaitaulan, juga teman, selalu saja terasa ada banyak hal yang kita tanggung sendirian. Tiap hari kita senantiasa berkomunikasi dan berbagi, juga saling mengurai cerita sekedar melupakan kesumpekan hidup, tapi selalu saja ada yang tak tuntas dan tetap harus kita tanggung seorang diri. Bahkan, agaknya, ada lebih banyak hal yang harus kita tanggung sendirian dibanding yang mampu kita bagi dengan sesama. “Di dunia ini, manusia tidak berduyun-duyun lahir ke dunia… dan berduyun-duyun pula pulang… seperti dunia dalam pasarmalam,” tulis Pram dalam Bukan Pasarmalam. Tiap kita, memang, dilahirkan seorang diri, dan lebih banyak menanggung beban hidup sendirian, merasakan sekarat maut pun sendirian (bahkan biarpun kematian datang dalam rupa musibah besar yang merenggut nyawa secara berjamaah, nampaknya kita tetap tak bisa turut merasakan sekarat orang lain; hanya akan kita rasai sekarat sendiri).


Agaknya hidup memang sebuah kegetiran, biarpun ada yang mengatakan hidup adalah anugerah. Dan tidakkah laku manusia sepanjang hayatnya senantiasa berusaha menghiburi diri dengan segala cara untuk menghindari kegetiran, juga kesunyian, yang menjadi takdirnya. Kerja, bersenang-senang, ritual ibadah, dan segala rupa penyaluran minat, bukankah itu sejatinya merupakan usaha manusia meringankan kesunyian dan kegetiran hidupnya.


Manusia adalah homo patiens, kata Viktor Frankl; makhluk yang berusaha tabah menanggung sunyi dan getirnya hidup, bukan sehebat homo sapiens yang punya kuasa sepenuhnya menyusun skenario hidupnya, seperti dimaklumatkan para filsuf renaisans. Selalu saja ada yang luput dari tiap usaha kita dalam hidup; selalu saja ada yang tak terjangkau kemampuan manusia; selalu saja ada sunyi dan getir yang merasuki hidup.


Kesunyian adalah nasibmu” -- secuplik kalimat dalam Novel Without a Name yang bertutur seputar Perang Vietnam karya Duong Thu Huong. Siapa sangka, bahkan dalam kesolidan dan kekompakan regu serdadu di tengah hirukpikuk di medan pertempuran, Quan, si tokoh-utama dalam kisah tersebut, tak jua kuasa mengelak dari deraan kesunyian nun jauh di lubuk batinnya.


Hidup memang sebuah laku kesunyian, setidaknya di dalam batin masing-masing…[]


3 komentar:

Iyan mengatakan...

Mangkunegaran IV mengundurkan diri jadi Raja kemudian mendirikan padepokan kwaruh diri, sejatining diri (diri yang sejati) menurutnya itu suwung (sunyi senyap)

Insaf Albert Tarigan mengatakan...

seperti membaca GM muda, aku suka gaya dan isinya. Bravo!

espito mengatakan...

>iyan: kalau tak salah, Al Ghazali juga meninggalkan perdebatan soal fikih dan menjauh dari kehidupan ramai (terutama menjauhi penguasa/kekuasaan) di usia tuanya.

>insaf: weleh2.. kepalaku bisa mengembang nih kalo baca komenmu terlalu serius, hehe..